Argumentasi Rasional Penegakan Hukum Pidana Tergerus
Berita

Argumentasi Rasional Penegakan Hukum Pidana Tergerus

Penegakan hukum cenderung emosional.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi hukum pidana yang mengekang. Ilustrator: HGW
Ilustrasi hukum pidana yang mengekang. Ilustrator: HGW

Pada masa pandemi Covid-19 banyak persoalan dan konflik yang muncul di masyarakat. Persoalan hukum yang terjadi semakin lama semakin kompleks, sebagian justru berada di luar nalar manusia normal mulai dari kejahatan incest dan gugatan anak terhadap orang tua hingga melakukan korupsi dana bantuan sosial. Beberapa dari persoalan yang muncul menyangkut kemanusiaan, dan seharusnya dapat diselesaikan melalui pendekatan non-pidana.

Sayangnya, ada kecenderungan hukum pidana dijadikan prioritas terutama dalam masa pandemi Covid-19. Mendahulukan hukum pidana seolah-olah akan mampu secara tuntas semua persoalan di masyarakat, termasuk yang menyangkut aspek kemanusiaan. Penyelesaian secara administratif, perdata, atau adat seolah dikesampingkan. Prioritas semacam itu justru menimbulkan problem lain. Di satu sisi, ada keinginan untuk menerapkan secara ketat menjaga jarak (physical distancing), tetapi di sisi lain penerapan pidana sebagai prioritas membuat jumlah orang yang dimasukkan ke ruang tahanan juga bertambah sehingga kebijakan jaga jarak sulit diterapkan.

“Aparat penegak hukum kita melihat seolah-olah hukum pidana itu bukan lagi sebagai ultimum remedium,” ujar M. Sholehuddin dalam ‘Ngobrol Santai Akhir Tahun Penegakan Hukum Pidana Berada di Titik Nadir?’, Rabu (23/12). “Dicari-cari pasalnya agar masuk pidana,” kata dosen hukum pidana Universitas Bhayangkara itu. Ultimum remedium adalah pandangan yang menempatkan hukum pidana sebagai sarana terakhir menyelesaikan persoalan hukum.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Topo Santoso, juga melihat hukum pidana digunakan secara berlebihan; atau digunakan secara salah. Persoalannya tidak semata-mata datang dari aparat penegak hukum, tetapi juga dari perundang-undangan nasional. Terlalu banyak ketentuan pidana dalam Undang-Undang, seolah setiap Undang-Undang harus memuat jenis tindak pidana dan ancaman pidananya. Selain itu, terlalu banyak pasal pidana yang membatasi ruang gerak dan kemerdekaan orang di dalam masyarakat. UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagaimana diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016, adalah contoh nyata.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Mahmud Mulyadi, berpendapat penegakan hukum saat ini cenderung emosional, tidak rasional. Penegakan hukum bercampur aduk dengan kepentingan politik penguasa dan kapitalisme. “Hukum pidana kita masih mengarah pada crime control model. Mungkin 80 persen masih crime control model,” ujarnya dalam diskusi yang diselenggarakan Perhimpunan Dosen Ilmu Hukum Pidana Indonesia (DIHPA) itu.

Crime control model tak bisa dilepaskan dari cara represif untuk mendapat bukti; yang penting penegakan hukum efektif meskipun kadang melanggar ketentuan formal. Melalui pendekatan ini aparat penegak hukum tidak ingin diganggu oleh elemen kritis. Formalitas sekadar dijustifikasi untuk mengejar target. Mahmud Mulyadi menyebutkan kecenderungan penggunaan crime control model menyebabkan argumentasi penegakan hukum yang rasional tergerus. “Argumentasi yang rasional agak tergerus,” ujarnya di diskusi yang sama.

Mahmud Mulyadi, juga dosen Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda, menjadikan UU ITE sebagai contoh penegakan hukum yang menggerus rasionalitas. Di satu sisi, sejumlah warga yang sering melayangkan kritik, dari berbagai latar belakang, menjadi ‘korban’ penegakan hukum UU ITE; sebaliknya di sisi lain hukum tidak dipergunakan untuk memproses orang-orang yang melakukan perbuatan serupa hanya karena menjadi pendukung setia pemerintahan. Menurut Mahmud, praktik semacam ini merugikan dan menggerus rasionalitas penegakan hukum pidana.

Tags:

Berita Terkait