Di Praperadilan, HRS Permasalahkan Pasal Penghasutan
Utama

Di Praperadilan, HRS Permasalahkan Pasal Penghasutan

Mengutip putusan MK, penghasutan adalah delik materiil, bukan delik formil.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 6 Menit
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menggelar sidang praperadlian Habib Rizieq Shihab  atas penetapan dirinya sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya terkait kasus penghasutan kerumunan massa yang terjadi di Petamburan, 10 November 2020 yang lalu. Foto: RES
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menggelar sidang praperadlian Habib Rizieq Shihab atas penetapan dirinya sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya terkait kasus penghasutan kerumunan massa yang terjadi di Petamburan, 10 November 2020 yang lalu. Foto: RES

Habib Rizieq Shihab (HRS) mengajukan upaya praperadilan atas penetapannya sebagai tersangka dan juga upaya penahanan yang dilakukan Polda Metro Jaya. Salah satu pokok permohonan HRS melalui tim penasihat hukumnya yaitu Aziz Yanuar, Wisnu Rakadita, Kamil Pasha, Sumadi Atmadja, Hujjatul Baihaqi dan Dwi Heriadi adalah pengenaan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan. Menurut tim, Pasal tersebut tiba-tiba saja muncul padahal tidak ada dalam proses penyelidikan.

Mereka yang menamakan diri Tim Advokasi Habib Rizieq Shihab ini berpendapat penyelidikan dan penyidikan sebagai suatu rangkaian kesatuan proses yang menunjuk pada suatu kondisi yang terdapat hubungan antar keduanya. Dengan catatan sepanjang diyakini berdasarkan fakta hukum adanya peristiwa pidana, maka dapat ditingkatkan ke tahap selanjutnya yakni penyidikan.

Sementara fakta menunjukkan dalam proses penyelidikan dan penyidikan terhadapnya adalah menyangkut ketidakterhubungan antara keduanya. Pertama, menyangkut tentang Laporan Polisi Nomor: LP/1304/XI/YAN.2.5/2020/SPKT PMJ tertanggal 25 November 2020, yang sebelumnya tidak ada dalam tahap penyelidikan. Sementara itu, penyelidikan didasarkan dengan adanya Laporan Informasi Nomor: LI/279/XI/2020/PMJ/Ditreskrimum tertanggal 15 November 2020.

Kedua, locus delicti pada tahap penyelidikan disebutkan Jl. Paksi Petamburan III, Tanah Abang Jakarta Pusat dengan tempus delicti tanggal 14 November 2020. Ternyata pada tahap penyidikan disebutkan locus delicti dan tempus delicti yang berbeda. Locus delicti menunjuk Jl. Tebet Utara 2B, Kec. Tebet, Jakarta Selatan, dan Jl. KS. Tubun, Kel. Petamburan, Kec. Tanah Abang, Jakarta Pusat dan tempus delicti pada tanggal 13 dan 14 November 2020; (Baca: Sengketa Lahan Ponpes Markaz Syariah FPI, Bagaimana Aturan Tanah Terlantar?)

“Ketiga, pada penyelidikan tidak ada disebut Pasal 160 KUHP, pasal tersebut kemudian baru ada pada penyidikan. Hal ini tentu sangat prinsip dan oleh karenanya patut dipertanyakan dan oleh karenanya dipermasalahkan dalam permohonan Praperadilan ini. Dikatakan demikian, oleh karena menyangkut peristiwa pidana apa yang telah ditetapkan dalam tahap penyelidikan,” ujar tim dalam permohonannya yang diperoleh Hukumonline.

Dalam tahap penyelidikan hanya terdapat dua Pasal saja, yakni Pasal 93 Jo. Pasal 9 UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan/atau Pasal 216 KUHP. Namun tiba-tiba dalam penyidikan, diselipkan Pasal 160 KUHP, yang sebelumnya tidak terdapat dalam tahap penyidikan, padahal antara penyelidikan dan penyidikan adalah satu rangkaian, artinya pasal-pasal yang terdapat dalam tahap penyelidikan hingga penyidikan haruslah bersesuaian.

Tim mengutip Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-VII/2009 telah mengubah rumusan delik penghasutan dalam Pasal 160 KUHP dari delik formil menjadi delik materiil dimana seseorang yang melakukan penghasutan baru bisa dipidana bila berdampak adanya pihak yang terhasut dan berujung pada terjadinya tindak pidana lain sebagai akibat, seperti kerusuhan atau suatu perbuatan anarki.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait