Refleksi Tiga Teori Menguak Relasi
Resensi

Refleksi Tiga Teori Menguak Relasi

Komisioner Komisi Yudisial 2015-2020, Aidul Fitriciada Azhari, meluncurkan sebuah buku reflektif yang membahas hubungan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 4 Menit
Cover buku karya Aidul Fitriciada Azhari. Foto: BAS
Cover buku karya Aidul Fitriciada Azhari. Foto: BAS

Ada banyak literatur yang sudah dipublikasikan membahas hubungan antara dua lembaga negara yang diatur dalam UUD 1945: Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Perhatian akademisi dan praktisi dapat disebut meningkat setelah ada tensi dalam hubungan itu ketika puluhan hakim agung mengajukan judicial review terhadap UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Selama lebih dari 12 tahun sejak judicial review itu, beragam upaya dilakukan untuk menjalin relasi yang lebih kuat dan saling pengertian di antara kedua lembaga.

Aidul Fitriciada Azhari menyebutnya sebagai ‘pasang surut’ dalam dinamika hubungan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Surakarta ini mencoba menelusuri akar persoalan lewat putusan Mahkamah Konstitusi, terutama putusan No. 05/PUU-IV/2006, dan putusan No. 43/PUU-XIII/2015. Putusan No. 05 tadi membatalkan beberapa ketentuan dalam UU No. 22 Tahun 2004 terkait wewenang pengawasan terhadap hakim Mahkamah Konstitusi serta penegasan yurisdiksi pengawasan Komisi Yudisial hanya terhadap hakim. Makna ‘hakim’ pun dibatasi. Putusan No. 43 membatalkan beberapa ketentuan dalam UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara terkait wewenang Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung melakukan seleksi dan pengangkatan hakim pengadilan tingkat pertama.

Terlepas dari isi putusan itu, faktanya kedudukan Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan Indonesia masih menarik diperdebatkan secara akademis, dan menimbulkan polemik di ruang publik. Polemik ini berkelindan dengan upaya memberikan payung hukum bagi hakim sebagai pejabat negara.

RUU Jabatan Hakim adalah payung hukum dimaksud. Proses pembahasan RUU ini di Senayan belum memperlihatkan tanda-tanda akan berujung, antara lain disebabkan polemik mengenai keterlibatan Komisi Yudisial dalam tata kelola hakim (hal. 3). Inilah antara lain yang menjadi pemantik awal diskursus yang dibangun Aidul lewat buku terbarunya ‘Antara Komisi Yudisial dan Dewan Yudisial’. Hukumonline mengikuti peluncuran buku ini secara daring, Desember 2020.

(Baca juga: KY Usulkan Konsep Pembagian Peran Masuk dalam RUU Jabatan Hakim).

Aidul adalah komisioner Komisi Yudisial periode 2015-2020, dan buku ini diluncurkan menjelang akhir masa jabatannya. Sebelumnya, sudah ada beberapa buku karya Aidul yang terbit antara lain Rekonstruksi Tradisi Bernegara dalam UUD 1945i (2014), Tafsir Konstitusi Pergulatan Mewujudkan Demokrasi di Indonesia (2014), Catatan Kritis Konstitusi: Hukum Tata Negara, Politik, Hukum Islam (2010), dan Bersaksi di Tengah Badai (2003). Aidul termasuk akademisi yang produktif menghasilkan karya tulis.

Bukunya, yang sedang di hadapan pembaca ini, ditulis di tengah kesibukannya bertugas di Komisi Yudisial. Buku ini bukan tentang rutinitas atau aktivitas Aidul sebagai komisioner, melainkan sebuah karya yang dihasilkan dari perenungan, dari releksi selama lima tahun terakhir. Meskipun materinya merupakan buah refleksinya selama menjalankan tugas negara, penulisan buku ini dirampungkan selama masa pandemic Covid-19.

Refleksi yang dilakukan Aidul tidak terlepas dari latar belakangnya sebagai akademisi. Sebagai akademisi, Aidul mempertanyakan apakah landasan teoritik yang selama ini dipakai untuk ‘membenarkan’ bahwa Komisi Yudisial ‘hanya’ supporting element’ bagi Mahkamah Agung. “Dunia akademis harus mempertanyakan asumsi-asumsi dasar dari teori tunggal tersebut dengan mengujinya berdasarkan beberapa variabel yang relevan,” begitu antara lain Aidul menulis dalam pengantar. “Dunia akademis tidak mesti terbelenggu oleh keterbatasan teoritik”.

Tags: