Jalan Pedang Peradilan Konstitusi dari Korea Selatan Hingga Turki
Resensi

Jalan Pedang Peradilan Konstitusi dari Korea Selatan Hingga Turki

Ada 15 negara di Asia dan Eurasia yang dibedah dengan pendekatan perbandingan hukum. Putusan-putusan monumental di setiap negara pun disajikan sebagai bahan pelajaran penting.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 5 Menit
Jalan Pedang Peradilan Konstitusi dari Korea Selatan Hingga Turki
Hukumonline

Peradilan konstitusi adalah babak baru dari kemajuan sistem hukum di dunia. Seperti diakui para penulis buku ini dalam prakata, pembentukan peradilan konstitusi umumnya diawali proses perubahan politik dari kekuasaan otoriter menuju demokratis. Pada masa lalu, peradilan administrasi dianggap terobosan untuk membuktikan bahwa pejabat publik pun bisa diadili atas hasil kerjanya melayani publik.

 

Konstitusi sebagai hukum tertinggi dalam sistem negara modern awalnya masih terasa berjarak dengan warga negara. Akses kepada ayat-ayat konstitusi terjadi secara tidak langsung melalui hukum positif dan penegakannya oleh aparat negara. Ceritanya berubah saat peradilan konstitusi lahir sebagai instrumen demokrasi dan supremasi hukum. Semua lapisan warga negara kini bisa mudah mengakses konstitusi secara langsung dalam mencari keadilan di hadapan para hakim konstitusi.

 

Sejarah mencatat eksistensi peradilan konstitusi tidak bisa lepas dari putusan monumental Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam kasus Marbury v. Madison tahun 1803. Penafsiran Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat saat itu, John Marshall, begitu berani. Meski tak pernah diatur dalam hukum tertulis, ia meyakini lembaga yang dipimpinnya berwenang menyatakan undang-undang bertentangan dengan konstitusi. Keberanian ini membawa kemajuan bagi konstitusionalisme.

 

Gagasan yang berkembang selanjutnya di wilayah Eropa adalah memisahkan mekanisme judicial review pada lembaga khusus. Sejak saat itu dunia mengenal dua model besar mekanisme judicial review. Pertama, model Amerika yang terdesentralisasi. Kedua, model Eropa yang terpusat (hal.7). Wajar jika berbagai negara di dunia yang mengambil konstitusionalisme dari Barat akan mengadopsi salah satu dari kedua model itu.

 

Hukumonline.com

 

Nah, sayang sekali wacana ilmiah kerap memusatkan perhatian untuk merujuk peradilan konstitusi di negara-negara Eropa. Berbagai perkembangan, adaptasi, bahkan modifikasi peradilan konstitusi di Asia kerap terlewat dipelajari. Asia sebagai benua terbesar dengan keberagaman yang tinggi secara sosial, politik, dan budaya tentu sangat menarik diteliti berkaitan peradilan konstitusi. Hal ini sangat disadari para penulis, “Buku ini hadir untuk mengisi keringnya oase literatur yang membahas mengenai perkembangan konstitusionalisme di Asia” (hal.xvii).

 

Sistem hukum Indonesia sendiri baru mulai mengenal peradilan konstitusi pasca reformasi. Usia Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia baru 17 tahun sejak dibentuk tahun 2003. Selama itu pula berbagai pemikiran tentang konstitusi berkembang di dalam negeri. Tercatat bahwa karya Pan Mohamad Faiz dan M.Lutfi Chakim ini memang bukan yang pertama mengulas perbandingan peradilan konstitusi di berbagai negara.

 

Sebuah buku kompilasi tentang pengaturan kewenangan dan kelembagaan peradilan konstitusi di 78 negara pernah terbit di tahun 2003, bersamaan lahirnya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Selanjutnya kompilasi itu dikembangkan menjadi buku karya Jimly Asshiddiqie berjudul Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara. Namun, karya akademis kali ini mengambil sudut pandang baru dengan mengarahkan fokus ke Asia.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait