Hukum Acara (Formil), Dapatkah Disimpangi Hakim?
Kolom

Hukum Acara (Formil), Dapatkah Disimpangi Hakim?

Sebagai hukum formil, maka hukum acara bersifat mengikat, memaksa dan harus ditaati oleh semua pihak yang menggunakannya dan tidak membuka kemungkinan untuk penafsiran.

Bacaan 6 Menit
Anthony LP Hutapea. Foto: Istimewa
Anthony LP Hutapea. Foto: Istimewa

Tulisan ini didasarkan kegalauan penulis atas Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 389/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 10 Desember 2020 (Putusan No. 389). Majelis hakim yang terdiri dari Tuty Haryati (ketua), Agung Suhendro (anggota) dan Bambang Nurcahyono (anggota) mengabulkan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan seorang nasabah pemegang polis dengan nama produk “Kresna Link Investa” terhadap PT Asuransi Jiwa Kresna (Asuransi Kresna) selaku penerbit polis, yang tidak dapat membayar pengembalian target investasi (bunga) atas premi yang telah jatuh waktu.

Padahal, syarat formil pengajuan PKPU terhadap perusahaan asuransi, hanya dapat dilakukan oleh Menteri Keuangan, berdasarkan Pasal 223 Jo. Pasal 2 ayat (5) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (UU Kepailitan), dan berdasarkan Pasal 55 UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK), mandat tersebut diberikan kepada OJK yang diwakili oleh Dewan Komisioner sejak 31 Desember 2012. Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 6 UU OJK: “OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap : .....c. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya.”

Filosofi hanya OJK (dahulu Menteri Keuangan) yang berhak mengajukan PKPU terhadap perusahaan asuransi sebagaimana disebut dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan adalah untuk “membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi sebagai lembaga pengelola risiko dan pengelola dana masyarakat yang memiliki kedudukan strategis dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian”.

Pasal 223 dan Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan pernah diuji di Mahkamah Konstitusi karena beberapa pihak berpendapat pembatasan hak warga negara untuk mengajukan PKPU perusahaan asuransi ke pengadilan niaga bertentangan dengan UUD, sehingga dimintakan pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat. Namun Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 071/PUU-III/2004 dan 001-002/PUU-III/2005 tanggal 17 Mei 2005 telah menolaknya dengan pertimbangan yang pada pokoknya sekalipun ada pembatasan hak masyarakat umum untuk mengajukan PKPU pada perusahaan asuransi, namun pembatasan tersebut guna melindungi kepentingan umum yang lebih besar, dan tidak hilang sama sekali karena diwakili oleh OJK.

Pengakuan hanya OJK yang berhak mengajukan PKPU terhadap perusahaan asuransi telah pernah secara benar diputus Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam Putusan No. 27/Pdt.Sus-PKPU/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 20 Maret 2015, ketika majelis hakim yang terdiri dari: Titik Tejaningsih (ketua), Eko Sugianto (anggota) dan Suko Triyono (anggota) memutus tidak menerima permohonan PKPU yang diajukan PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya, atas permohonan pailit yang diajukan OJK, dengan pertimbangan hukum hanya OJK yang berwenang sesuai Pasal 223 UUKep, Pasal 6 dan Pasal 55 UU OJK.

Pentingnya Formalitas

UU Kepailitan berisikan ketentuan hukum materiil yang mengatur syarat bagi kreditor dalam mengajukan permohonan PKPU yaitu debitor harus memiliki lebih dari satu kreditor dan salah satu utang debitor yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, tetapi debitor tidak membayar utang tersebut, serta hukum formil (acara) perdata yang berfungsi menegakkan hukum materiil, yaitu apakah pihak yang mengajukan PKPU mempunyai kewenangan (legal standing atau persona standi judicio). Ahli Hukum Acara Perdata, S. Mertokusumo (2006) menyebutkan, sebagai hukum formil, maka hukum acara bersifat mengikat, memaksa dan harus ditaati oleh semua pihak yang menggunakannya dan tidak membuka kemungkinan untuk penafsiran.

Argumentasi yang dikemukakan kuasa hukum pemohon, sebagaimana dikutip dalam Majalah Gatra, Edisi 24-30 Desember 2020 adalah: “terjadi kekosongan hukum karena yang diatur dalam UU Perasuransian adalah mekanisme pailit bukan PKPU”. Argumentasi tersebut sekilas ada benarnya karena memang UU No. 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian maupun peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 28/POJK.05/2015 tanggal 7 Desember 2015 (POJK No. 28) mengatur pembubaran, likuidasi dan kepailitan perusahaan asuransi, tetapi tidak mengatur PKPU perusahaan asuransi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait