Pertarungan Kebebasan Informasi versus Hak Atas Privasi
Resensi:

Pertarungan Kebebasan Informasi versus Hak Atas Privasi

Karya ini menyediakan argumentasi teoritis hukum dan landasan filosofis untuk menyusun RUU Perlindungan Data Pribadi yang sesuai dengan konteks Indonesia.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi foto buku dan data buku: YUSUF
Ilustrasi foto buku dan data buku: YUSUF

Seorang tersangka meninggal dunia saat berada dalam masa tahanan kepolisian. Polisi dan pengacara tersangka menjelaskan tahanan meninggal karena sakit. Tetapi polisi enggan untuk mengungkapkan jenis penyakit yang diderita. Keengganan polisi mengungkap jenis penyakit korban bukan tanpa dasar. Informasi yang tercantum dalam medical record tak sembarangan bisa dipublikasikan. Ada nilai perlindungan informasi yang bersifat pribadi di situ. Informasi jenis ini hanya bisa diungkap atas izin pasien atau keluarganya, atau dalam konteks pengisian jabatan publik.

Catatan pengantar di atas merupakan contoh terbaru bagaimana badan publik negara seharusnya menempatkan informasi yang bersifat pribadi. Ranah hukum lazim menyebutnya hak atas privasi (privacy). Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) memasukkannya sebagai ‘informasi yang dikecualikan’. Artinya, publik tidak dapat mengakses informasi yang berkaitan dengan data pribadi. Contoh yang disebut dalam Pasal 17 UU KIP adalah isi akta otentik yang bersifat pribadi, kemauan terakhir atau wasiat seseorang.

Pada saat pandemi Covid-19 seperti sekarang, contoh nyata yang menimbulkan perdebatan publik adalah informasi mengenai orang yang dinyatakan positif terjanggit Covid-19. Apakah warga boleh mengakses informasi mengenai siapa saja yang terkena di suatu daerah? Mereka yang pro berargumen informasi itu berguna melindungi warga lain yang lebih banyak. Dengan mengetahui informasi dimaksud, warga bisa menerapkan protokol kesehatan yang lebih terarah, misalnya tidak berinteraksi langsung dengan pasien. Sebaliknya, bagi mereka yang kontra, pengungkapan identitas warga yang positif Covid-19, merupakan pelanggaran terhadap hak-hak atas pribadi seseorang.

(Baca juga: Kebebasan Informasi dan Perlindungan Data Pribadi Saling Memagari).

Nenny Rianarizkiwati telah mendokumentasikan dengan baik pertarungan dua pandangan yang terkesan bertolak belakang itu: kebebasan informasi versus hak atas privasi. Bukunya, ‘Kebebasan Informasi versus Hak Atas Informasi: Tanggung Jawab Negara dalam Perlindungan Data Pribadi’ dapat disebut literatur teranyar tentang topik ini di lingkungan akademik. Buku yang diterbitkan Infermia Publishing ini semula adalah disertasi Nenny di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Promotor Nenny saat menyusun disertasi ini, Jimly Asshiddiqie, menyebut Nenny berhasil mengelaborasi dua hak yang dijamin UUD 1945 secara simultan dan secara seimbang.

Dengan kata lain ada upaya menjaga ‘keseimbangan’ dalam pemenuhan hak asasi atas informasi dan hak asasi atas data pribadi. Nenny berusaha melihat tanggung jawab dan kewajiban negara dalam konteks itu. Ia berangkat dari instrumen kewajiban negara yang bersifat positif dan bersifat negative yang lazim dipakai dalam implementasi kewajiban hak asasi manusia. Positif mengandung makna kewajiban pemerintah untuk melindungi hak-hak rakyat dari gangguan internal dan eksternal. Kewajiban negatif adalah kewajiban untuk menahan diri atau kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu (hal. 205).

Pada saat yang bersamaan, lembaga-lembaga negara harus menyediakan informasi publik agar bisa diakses masyarakat; sekaligus menjaga batasan-batasan yuridis akses terhadap informasi itu. Akses terhadap informasi publik itu telah diatur dan diakomodasi dalam banyak peraturan perundang-undangan. Sekadar contoh dapat disimak ketentuan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal 51 UU ini menyatakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib membuka akses dokumen administrasi pemerintahan kepada setiap warga masyarakat untuk mendapatkan informasi, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang. Hak mengakses dokumen administrasi pemerintahan tidak berlaku jika dokumen tersebut termasuk kategori rahasia negara dan/atau melanggar kerahasiaan pihak ketiga. Warga masyarakat memiliki kewajiban untuk tidak melakukan penyimpangan pemanfaatan informasi yang diperoleh.

Jadi, negara dihadapkan pada dua kondisi. Di satu sisi terdapat jaminan hak setiap orang atas kebebasan memperoleh informasi sebagaimana antara lain dijamin UU KIP; dan di sisi lain terdapat hak atas privasi informasi. Kedua hak itu dapat saling berbenturan apabila penggunaan kedua hak itu tidak diatur dengan baik. Dalam konteks inilah negara berperan mengatur lalu lintas data pribadi, sebagai wujud tanggung jawab negara (hal. 240). Peran negara dapat dilihat sebagai pengawas pemrosesan data pribadi, pengendali data, dan peran jaksa mewakili negara melindungi data penduduk Indonesia di luar negeri.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait