Mengenal Plagiasi Salami dan Pencegahannya
Kolom

Mengenal Plagiasi Salami dan Pencegahannya

Kejujuran dan etika akademik penulis sangatlah penting.

Bacaan 5 Menit
Kukuh Tejomurti. Foto: Istimewa
Kukuh Tejomurti. Foto: Istimewa

Dalam dua bulan terakhir dunia akademik Perguruan Tinggi dihangatkan dengan pemberitaan kasus dugaan plagiat oleh dua pejabat tinggi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia. Pertama, kasus dugaan “auto-plagiarisme/self plagiarism (plagiasi karya sendiri)” yang diduga dilakukan oleh Muryaanto Amin, rektor terpilih USU di Sumatera. Karena tindakan tersebut akhirnya, Muryanto Amin dijatuhi hukuman oleh Rektor USU, Runtung Sitepu, yaitu penundaan kenaikan pangkat dan golongan selama satu tahun terhitung sejak tanggal keputusan dikeluarkan.

Peristiwa tersebut pada akhirnya telah diselesaikan di tingkat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (Kepmen) dengan terbitnya Keputusan Menteri Nomor 6169/MPK.A/KP/2021 tertanggal 27 Januari 2021. Kepmen tersebut mencabut Keputusan Rektor USU Nomor 82/UN5.1R/SK/KPM/2021 tentang Penetapan Sanksi Pelanggaran Norma, Etika Akademik/Etika Keilmuan dan Moral Civitas Akademika atas nama Dr. Muryanto Amin dalam Kasus Plagiarisme. Dalam Kepmen tersebut, Menteri Nadiem Makarim menyatakan telah melakukan telaah dan kajian komprehensif oleh tim reviewer dari Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Negeri Semarang (Unnes) yang diperoleh kesimpuan bahwa Muryanto Amin tidak terbukti melakukan plagiat.

Kasus kedua adalah dugaan plagiasi dilayangkan kepada Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes), Fathur Rohkman, yang diduga melakukan plagiasi terhadap karya skripsi mahasiswa bimbingannya dalam penulisan karya Disertasi Pendidikan Doktoral-nya di Universitas Gadjah Mada (UGM). Dari polemik kasus tersebut pada akhirnya Dewan Kehormatan UGM merekomendasikan gelar doktor Rektor Unnes dicabut. Namun polemik ini pada akhirnya “selesai” setelah dikeluarkannya Surat Keputusan UGM Nomor 1720/UN1.P/SET-R/HK/2020 tertanggal 2 April 2020. Dua peristiwa tersebut bisa jadi mewakili kasus-kasus dugaan “plagiasi” oleh civitas akademik kampus, meskipun demikian ada perbedaan mendasar antara kasus Rektor USU (Muryanto Amin) dan kasus Rektor Unnes (Fathur Rokhman).

Pada kasus dugaan plagiasi Muryanto Amin dijelaskan bahwa Muryanto mengutip karya ilmiahnya sendiri dari karya Disertasi pendidikan doktoralnya di Universitas Indonesia. Menurut Pasal 1 Ayat 1 Peraturan Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 17 Tahun 2010 menyebutkan bahwa “Plagiat adalah perbuatan secara sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiaah, dengan mengutip sebagian  atau seluruhnya karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai”.

Berdasarkan bunyi Pasal tersebut maka unsur “plagiasi” adalah mengutip karya ilmiah pihak lain tanpa menyatakan sumber yang tepat dan memadai sehingga Muryanto Amin dinilai “tidak melakukan” plagiasi karena mengutip karya tulis disertasinya sendiri. Selanjutnya Muryanto Amin juga dinilai melakukan “double publication” satu karya artikelnya pada dua jurnal internasional yang menurutnya bahwa sebenarnya proses submission pada jurnal pertama telah dicabut oleh penulis bersangkutan dan telah disetujui oleh editor jurnal tersebut dan melakukan submission pada jurnal internasional lain dan telah diterima untuk diterbitkan. Namun ironisnya adalah pada akhirnya editor jurnal internasional pertama tersebut (yang sudah menyetujui pencabutan) akhirnya menerbitkan artikel ilmiah Muryanto Amin sehingga terjadilah “double publication”.

Salami Publication

Dalam persyaratan standar publikasi yang diterbitkan oleh COPE (Committee on Publication Ethics),bermarkas di New Kingss Court-United Kingdom, tentang prinsip dan etika publikasi yang menjadi acuan jurnal-jurnal ilmiah di berbagai negara telah dijelaskan sejumlah guidelines publikasi bagi editor, reviewer, maupun penulis dalam menerbitkan karya tulis ilmiahnya dalam jurnal. Bagi seorang penulis artikel, COPE telah memberikan persyaratan prinsip dan etika di antaranya yang terpenting adalah karya ilmiah tersebut bersifat original dan belum dipublikasikan di manapun dalam berbagai bahasa serta penulis dilarang melakukan plagiasi atau “self plagiarism”, dan “salami publication”.

Dalam Permendiknas Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi masih hanya mengenal plagiasi sebagai “menjiplak” atau “mengutip” “karya milik orang lain” tanpa menyebutkan sumber secara tepat dan memadai. Permendiknas tersebut masih belum mengenal “self-plagiarism” dan “salami publication” sebagai sebuah pelanggaran norma hukum. Oleh karenanya “Self-Plagiarism” atau “plagiasi terhadap karya ilmiahnya sendiri” dinilai bukan merupakan pelanggaran norma Pasal 1 ayat 1 Permendiknas Nomor 17 Tahun 2010 tersebut, namun hanya bersifat pelanggaran etika penulis. Pada hubungan antara hukum dan etika, maka jangkauan etika lebih luas daripada hukum. Oleh karenanya pelanggaran hukum dapat disebut sebagai pelanggaran etika, tetapi belum tentu pelanggaran etika merupakan pelanggaran hukum.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait