Akademisi Ini Tekankan Restorative Justice dalam Revisi UU ITE
Profil

Akademisi Ini Tekankan Restorative Justice dalam Revisi UU ITE

Penegakan hukum terkait UU ITE harus menjadi instrumen terakhir sebagai ultimum remedium. Terpenting bagaimana mendidik masyarakat agar melek hukum, teknologi, dan etika.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Dekan FH Universitas Pasundan Anthon F Susanto saat Instagram Live Program Hukumonline Academy bertajuk 'Darurat Revisi UU ITE', Selasa (9/3/2021). Foto: RES
Dekan FH Universitas Pasundan Anthon F Susanto saat Instagram Live Program Hukumonline Academy bertajuk 'Darurat Revisi UU ITE', Selasa (9/3/2021). Foto: RES

Presiden Joko Widodo telah mewacanakan untuk kembali merevisi UU ITE. Jokowi menyebut banyak masyarakat yang saling lapor dengan menggunakan UU ITE. Intinya UU ITE untuk menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, sehat, beretika, dan dapat dimanfaatkan secara produktif. Jokowi berharap pelaksanaan UU ITE jangan sampai menimbulkan rasa ketidakadilan.

Selaras itu Jokowi meminta Kapolri dan jajarannya lebih selektif menerima laporan pelanggaran UU ITE. Bahkan mengarahkan untuk dibuat pedoman interpretasi resmi terhadap pasal-pasal UU ITE yang bisa menimbulkan multitafsir. “Kalau UU ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi UU ini, UU ITE ini, karena di sinilah hulunya,” kata Presiden sebagaimana dikutip laman setkab.go.id, medio Februari 2021 lalu.

Arahan untuk merevisi UU ITE itu ditindaklanjuti Menkopolhukam dengan membentuk Tim Kajian UU ITE melalui Kepmenkopolhukam No.22 Tahun 2021. Sampai saat ini Tim masih bekerja menjaring masukan dari masyarakat termasuk dari pihak pelapor dan terlapor dalam kasus terkait UU ITE. Wacana revisi UU ITE ini mengundang perhatian publik, termasuk dari kalangan akademisi.

Dekan Fakultas Hukum (FH) Universitas Pasundan, Anthon F Susanto mengatakan revisi pertama UU ITE telah dilakukan dengan terbitnya UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ketentuan yang paling banyak diubah lewat revisi itu berkaitan dengan sanksi pidana.

Anthon melihat seiring berjalannya waktu banyak kalangan khawatir terhadap penerapan UU ITE terutama terkait kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Banyak kasus dimana orang yang menyampaikan pendapatnya di ranah digital, tapi ujungnya bisa dijerat pidana. Hal ini memberikan dampak kepada masyarakat, sehingga orang makin takut untuk berpendapat terutama di ranah digital, seperti di media sosial.

Pers juga sempat terdampak, padahal peran pers sangat penting untuk menjaga kualitas demokrasi. Menurut Anthon, momentum revisi sebagaimana diutarakan Presiden Jokowi sangat bagus karena secara sosiologi hukum ini merupakan bentuk evaluasi terhadap pelaksanaan UU yang dinilai kurang berdampak positif bagi masyarakat.   

“Momen revisi ini sangat penting untuk melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan UU ITE,” kata Anthon F Susanto saat Instagram Live Program Hukumonline Academy bertajuk “Darurat Revisi UU ITE”, Selasa (9/3/2021). (Baca Juga: Sejumlah Alasan UU ITE Perlu Diubah Secara Total) 

Tags:

Berita Terkait