Pemidanaan Berlebih bagi Penolak Vaksinasi
Kolom

Pemidanaan Berlebih bagi Penolak Vaksinasi

​​​​​​​Berbagai langkah kreatif lain dapat dipertimbangkan terlebih dahulu sebelum mengancam warga dengan hukuman pidana.

Bacaan 4 Menit
Choky R Ramadhan. Foto: Istimewa
Choky R Ramadhan. Foto: Istimewa

Vaksin Covid-19 Sinovac pertama telah diberikan kepada Presiden Joko Widodo bulan Januari 2021 lalu. Distribusi dan pelaksaaan vaksinasi terus dilakukan dengan harapan semakin banyak penduduk Indonesia yang divaksin untuk mencegah dampak buruk kesehatan akibat Covid-19.

Pelaksanaan vaksinasi sebaiknya disertai ancaman pidana menurut Hendry Julian Noor dalam “Kewajiban Vaksin dan Hukum Pidana Administrasi” (Kompas, 13 Januari). Hendry meyakini penjatuhan pidana penjara dan/atau denda akan efektif mempengaruhi banyak orang untuk melaksanakan “kewajiban” vaksinasi. Argumen dengan basis utilitarianisme digunakannya: menghukum orang yang menolak vaksinasi memberi manfaat besar dan selaras dengan tujuan UU Kekarantinaan Kesehatan. Pemidanaan juga diusung oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Prof Edward Oemar Sharif Hiariej.

Penerapan hukum pidana sebagai sarana pertama dan utama (premium remedium) bukan langkah bijak. Pengutamaan sanksi pidana dapat membatasi kebebasan individu, mengurangi manfaat sosial (societal benefit), dan membuat tumpulnya kreativitas dalam penyusunan kebijakan publik. Tulisan ini bukan menolak vaksinasi, tetapi menentang penghukuman terhadap penolak vaksinasi.

Kebebasan Individu

Suatu hukuman pidana tentu akan membatasi kebebasan individu (Husak, 2004). Kebebasan individu secara intrinsik merupakan sesuatu yang baik dan penting untuk pemenuhan berbagai tujuan hidup manusia (Rawls, 1971). Seseorang yang bebas memiliki kemampuan untuk melakukan apa yang dianggap baik oleh dirinya (positive liberty) dan tidak adanya paksaan (negative liberty) (Berlin, 1969).

Vaksin yang disediakan pemerintah bentuk pelaksanaan tanggung jawab negara berdasarkan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945. Akan tetapi pada tataran individu, vaksinasi salah satu jenis pelayanan kesehatan yang merupakan hak setiap orang (Pasal 28 H UUD 1945).

Hak ini kemudian ditegaskan kembali pada pasal 5 ayat (3) UU 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Pemidanaan terhadap penolak vaksin berarti tidak memberikan hak kepada individu untuk memilih dan menentukan sendiri jenis pelayanan kesehatan.

Kebebasan memilih dan menentukan ini menjadi isu penting jika dikaitkan dengan jenis vaksin Covid-19 yang tersedia di Indonesia. Vaksin Covid-19 terbanyak yang dibeli oleh pemerintah Indonesia adalah vaksin Sinovac. Efikasi vaksin ini diyakini sebesar 65,3% menurut pernyataan Badan Pemeriksaan Obat dan Makanan (BPOM). Di Brazil, efikasi vaksin Sinovac diumumkan hanya sebesar 50,4%.

Tags:

Berita Terkait