4 Catatan Kritis ICEL Soal Abu Batubara Bukan Lagi Limbah B3
Berita

4 Catatan Kritis ICEL Soal Abu Batubara Bukan Lagi Limbah B3

Pemerintah klaim tidak semua abu batubara dikeluarkan dari kategori limbah B3.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi kegiatan pertambangan batubara. Foto: RES
Ilustrasi kegiatan pertambangan batubara. Foto: RES

Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diundangkan 2 Februari 2021 lalu, menetapkan Abu Batubara (fly ash dan bottom ash) tidak lagi dikategorikan sebagai Limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3). Hal ini terlihat dari Lampiran XIV peraturan tersebut yang menetapkan abu batubara sebagai Limbah Non B3 terdaftar.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mencatat upaya untuk menyederhanakan ketentuan pengelolaan abu batubara tidak terjadi sekali ini. Sebelumnya pada 2020, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri LHK Nomor P.10 Tahun 2020, yang memberikan penyederhanaan prosedur uji karakteristik Limbah B3, termasuk apabila ingin melakukan pengecualian fly ash sebagai Limbah B3. Setidaknya ada 4 catatan kritis ICEL terkait hal ini.  

Pertama, luputnya pertimbangan biaya yang timbul dari risiko pencemaran abu batubara akibat longgarnya aturan pengelolaan abu batubara sebagai Limbah Non B3. “Sebelumnya, di beberapa kesempatan Pemerintah pernah menyatakan bahwa potensi keuntungan ekonomi dari dikeluarkannya abu batubara dari daftar limbah B3 adalah sebesar 447 juta rupiah per hari. Keuntungan ekonomi tersebut diperoleh dari penghematan biaya pengolahan abu batubara oleh pengolah limbah B3 serta dari keuntungan dari pemanfaatan abu batubara,” kata Grita Anindarini, Deputu Direktur ICEL dalam keterangan tertulis kepada hukumonline.

Kedua, ketidakadilan lingkungan dengan adanya potensi distribusi dampak atau risiko terhadap lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat. Dengan statusnya sebagai limbah non B3, kini abu batubara tidak perlu diuji terlebih dahulu sebelum dimanfaatkan. Artinya, terdapat risiko di mana abu batubara dimanfaatkan tanpa kita ketahui potensi pencemarannya. (Baca: Penjelasan KLHK Soal Penghapusan Limbah Batubara dari Kategori Berbahaya)

Terlebih lagi, aturan pemanfaatan abu batubara sebagai limbah non B3 tidak memprioritaskan cara pemanfaatan limbah abu batubara yang paling aman. Pemanfaatan abu batubara yang buruk seperti untuk material urugan atau penyubur tanaman bisa jadi digunakan oleh pelaku usaha. Tentu kondisi ini tidak sejalan dengan prinsip kehati-hatian yang menghendaki tindakan pencegahan potensi pencemaran lingkungan hidup berdasarkan pada informasi besaran dan potensi terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dari suatu kegiatan.

Ketiga, hilangnya kewajiban pelaku usaha PLTU untuk memiliki sistem tanggap darurat untuk pengelolaan abu batubara. Hal yang juga membedakan pengelolaan Limbah B3 dan limbah non B3 adalah adanya kewajiban untuk memiliki Sistem Tanggap Darurat, yang tidak ada dalam pengelolaan limbah non B3. Pada dasarnya, sistem tanggap darurat merupakan sistem pengendalian keadaan darurat akibat kejadian kecelakaan Pengelolaan Limbah B3. Kecelakaan ini dapat diakibatkan oleh manusia, teknologi, maupun bencana alam.

Hal ini tentu mengkhawatirkan apabila melihat fakta bahwa cukup banyak PLTU yang berada di kawasan rawan bencana. Dalam praktiknya, abu Batubara (fly ash dan bottom ash) akan disimpan sementara di lokasi sekitar pembangkit sebelum pada akhirnya dimanfaatkan atau dikelola. Dengan dikeluarkannya abu batubara dari daftar limbah B3, tidak ada kewajiban bagi pelaku usaha PLTU untuk memiliki sistem tanggap darurat untuk pengelolaan abu batubara ini. Apabila terjadi pencemaran lingkungan hidup akibat adanya keadaan darurat, sistem yang siap untuk menanggulangi dan memulihkan pencemaran tersebut tidak tersedia.

Tags:

Berita Terkait