Sinergi Regulasi Masih Jadi Persoalan Lindungi Konsumen Fintech P2P
Berita

Sinergi Regulasi Masih Jadi Persoalan Lindungi Konsumen Fintech P2P

Ketiadaan aturan yang mampu memberikan perlindungan hukum dan HAM yang memadai berdampak pada praktik penyelenggaraan bisnis fintech yang melanggar hukum.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Perkembangan industri pinjaman online atau fintech peer to peer lending semakin tinggi penggunaannya oleh masyarakat. Namun, seiring pertumbuhan tersebut, ternyata industri fintech P2P masih menyimpan berbagai persoalan salah satunya perlindungan konsumen. Ramai pemberitaan mengenai kasus-kasus penyalahgunaan data pribadi yang merugikan konsumen.

Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Ajisatria Suleiman, mengatakan upaya untuk memperkuat sinergi antara regulasi pemerintah dan perlindungan konsumen fintech P2P sangat penting untuk dilakukan. Perlindungan konsumen diperlukan untuk memberikan rasa aman dan menjaga kepercayaan mereka dalam bertransaksi dengan lembaga ini. Rasa aman dan kepercayaan tersebut akan menumbuhkan industri keuangan dan, setidaknya akibat pandemi, dapat menggerakkan sektor-sektor yang terdampak pandemi lewat skema pinjaman yang diajukan para konsumen. 

Aturan mengenai  fintech sudah tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Setiap fintech yang berdiri di Indonesia harus mendaftarkan diri ke OJK secara legal lewat prosedur yang berlaku. 

Namun, Ajisatria menyampaikan ironisnya lebih banyak jumlah perusahaan fintech tidak terdaftar atau ilegal mencapai ribuan aplikasi. Dia menjelaskan berbagai kasus pelanggaran tersebut banyak disebabkan fintech ilegal, terutama yang menjalankan model bisnis pinjaman harian atau payday loan ini. (Baca: Dua RUU Ini Mendesak Disahkan Demi Keamanan Konsumen)

Sayangnya, masih terdapat kelemahan dalam pengawasan fintech ilegal tersebut. Secara peraturan, OJK hanya dapat mengatur perusahaan fintech yang terdaftar. Sehingga, masalah yang timbul dianggap bukan tanggung jawab OJK. Menurut Ajisatria, kelemahan pengawasan tersebut harus diantisipasi dengan koordinasi dengan otoritas lain seperti kepolisian dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Dalam hal mitigasi penyalahgunaan data pribadi, perlu ada peran dari para pelaku industri fintech lending ketika berbisnis. Penyedia layanan tentunya ingin memberikan produk dan layanan yang terbaik dan sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Untuk itu perlu dipahami bahwa perusahaan fintech juga memerlukan profil pelanggannya. Namun perusahaan fintech juga harus memahami sebanyak apa data pribadi yang dapat mereka akses.

Perlu ada etika digital dari para penyedia layanan yang mencegah penggunaan data pribadi berlebihan. Ajisatria menjelaskan penggunaan data pribadi yang tidak pantas adalah ketika profil dari para konsumen digunakan untuk keperluan lain, terutama jika tanpa pemberitahuan awal kepada konsumen. OJK saat ini hanya membatasi penyedia layanan untuk mengakses tiga hal lewat aplikasi yang mereka jalankan, yaitu kamera, microphone dan lokasi. Selain itu, para pelaku juga harus mendaftarkan usaha fintech miliknya ke OJK dan mengikuti serangkaian proses penilaian. 

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait