Prof Aloysius Uwiyono: Pengaturan PKWT Dalam UU Cipta Kerja Belum Berkeadilan
Utama

Prof Aloysius Uwiyono: Pengaturan PKWT Dalam UU Cipta Kerja Belum Berkeadilan

Karena membuka peluang untuk PKWT dilakukan secara terus-menerus. Peran pemerintah untuk mengatur pengupahan dikurangi dalam UU Cipta Kerja dan dikembalikan pada fungsi keperdataan. Misalnya upah dan sanksinya berdasarkan kesepakatan para pihak.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi. HGW
Ilustrasi. HGW

Terbitnya Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, salah satunya telah mengubah sejumlah ketentuan dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Misalnya, terkait hubungan kerja, pengupahan, dan kompensasi pemutusan hubungan kerja (PHK). Pemerintah juga telah menerbitkan berbagai peraturan turunan UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan, seperti PP No.35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja, dan Waktu Istirahat dan PHK (PP PKWT-PHK).

Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan Universitas Indonesia (UI), Prof Aloysius Uwiyono, mengingatkan posisi buruh dan pengusaha itu sifatnya subordinasi, bukan horizontal (setara/sejajar, red)). Oleh karena itu dibutuhkan aturan yang mampu menyeimbangkan posisi buruh dengan pengusaha.

“Buruh berada di pihak yang lemah, pengusaha di pihak yang kuat. Perlu aturan yang untuk meminimalisir ketidaksamaan (ketidakseimbangan, red) antara buruh dan pengusaha,” kata Prof Aloysius Uwiyono dalam webinar nasional bertema “Hukum Ketenagakerjaan Dalam UU Cipta Kerja dan Keselarasannya Dengan Konsep Ketenagakerjaan”, Jumat (19/3/2021). (Baca Juga: Begini Pengaturan Lengkap PP PKWT-PHK)

Secara yuridis, Aloysius menilai kedudukan pengusaha dan buruh sama (equality before the law), tapi secara sosiologis kedudukan keduanya timpang. Pengusaha posisinya kuat secara sosial dan ekonomi. Hal ini pentingnya peran pemerintah atau negara untuk membuat aturan hukum perburuhan agar bisa seimbang.

“Sepanjang ketentuan mengatur tentang hak pekerja maka diatur standar minimum. Sebaliknya jika ketentuan itu mengatur kewajiban pekerja maka diatur standar maksimum,” ujarnya.

Aloysius mencatat ada 3 jenis hubungan kerja jenis PKWT menurut UU Cipta Kerja. Pertama, berdasarkan jangka waktu. Kedua, berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu. Ketiga, berdasarkan pekerjaan tertentu lainnya. Baginya, pengaturan PKWT dalam UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya berpotensi menimbulkan masalah. Misalnya, PKWT berdasarkan jangka waktu sebagaimana diatur Pasal 5 ayat (1a) PP No.35 Tahun 2021 hanya untuk pekerjaan yang tidak terlalu lama dan dilaksanakan paling lama untuk 5 tahun.

“Tapi ketentuan ini tidak mengatur bagaimana setelah jangka waktu 5 tahun itu berakhir?”

PKWT sebagaimana diatur Pasal 5 ayat (1) PP No.35 Tahun 2021 itu berakhir dan pekerjaan belum selesai, PKWT bisa diperpanjang tak lebih dari 5 tahun, sehingga total PKWT itu dengan perpanjangannya 10 tahun. Tapi beleid ini tidak mengatur bagaimana jika perpanjangan PKWT itu telah berakhir?

Tags:

Berita Terkait