KPK Terbitkan SP3 Perkara Sjamsul Nursalim dan Istri
Berita

KPK Terbitkan SP3 Perkara Sjamsul Nursalim dan Istri

Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) tersebut adalah yang pertama sepanjang berdirinya KPK, sejak UU KPK direvisi.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 6 Menit
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata. Foto: RES
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata. Foto: RES

KPK mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istri-nya Itjih Nursalim. SP3 tersebut adalah SP3 pertama sepanjang berdirinya institusi penegak hukum tersebut, dan mendapat landasan hukum berdasarkan Undang-undang No. 19 Tahun 2019 tentang Revisi UU KPK.

“Hari ini kami akan mengumumkan penghentian penyidikan terkait dugaan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh tersangka SN (Sjamsul Nursalim) selaku pemegang saham pengendali BDNI dan ISN (Itjih Sjamsul Nursalim) bersama-sama dengan SAT (Syafruddin Arsyad Temenggung),” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata seperti dilansir Antara dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Kamis (4/1).

Pasangan Sjamsul Nursalim dan Itjih Nusalim ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proses Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham BDNI selaku obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sejak 2 Oktober 2019 karena diduga merugikan kerugian negara hingga Rp4,58 triliun. (Baca: Tidak Terpenuhi Syarat Formil Jadi Alasan MA Tolak PK KPK)

Penetapan keduanya sebagai tersangka berdasarkan surat perintah penyidikan (sprindik) pada Juni 2019. "SP3 tersebut ditetapkan pada 31 Maret 2021 dan KPK akan memberitahukan kepada tersangka mengenai penghentian penyidikan perkara tersebut," tutur Alexander.

Alexander menjelaskan KPK mengeluarkan SP3 tersebut untuk memberikan kepastian hukum. "Sebagai bagian dari penegak hukum, maka dalam setiap penanganan perkara KPK memastikan akan selalu mematuhi aturan hukum yang berlaku. Penghentian penyidikan ini sebagai bagian adanya kepastian hukum dalam proses penegakan hukum," ujarnya.

Kepastian hukum tersebut, menurut dia, perlu dihadirkan pasca-Mahkamah Agung menolak Peninjauan Kembali (PK) KPK terhadap putusan kasasi mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung pada 16 Juli 2020.

Dalam putusan Kasasi MA pada 9 Juli 2019 untuk terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung itu disebutkan bahwa perbuatan Syafruddin bukan merupakan tindak pidana dan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (onslag van alle echtsvervolging).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait