Pesan Mardjono Reksodiputro ke Sarjana Hukum: Kuasailah Bahasa Asing
Berita

Pesan Mardjono Reksodiputro ke Sarjana Hukum: Kuasailah Bahasa Asing

Jangan hanya melihat perkembangan hukum Indonesia, tetapi juga hukum di luar negeri.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit
Acara Festival of Alumni Leadership Camp yang diselenggarakan ILUNI FHUI dengan tema ‘From Obstacles to Opportunities From Challenge to Success’, Sabtu (3/4). Foto: AID
Acara Festival of Alumni Leadership Camp yang diselenggarakan ILUNI FHUI dengan tema ‘From Obstacles to Opportunities From Challenge to Success’, Sabtu (3/4). Foto: AID

Prof. Mardjono Reksodiputro merupakan sosok yang tak asing bagi profesi hukum. Dia adalah dosen, mantan dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) tahun 1984-1990, dan juga teman serikat pada Kantor Konsultan Hukum Ali Budiardjo Nugroho Reksodiputra (ABNR) hingga sekarang.

Dalam acara Festival of Alumni Leadership Camp dengan tema “From Obstacles to Opportunities From Challenge to Success”, yang diselenggarakan ILUNI FHUI pada Sabtu (3/4), Mardjono menceritakan kisahnya. Dia mengaku memiliki ragam aktivitas. Selain berprofesi lawyer, dia konsisten pada pembaharuan hukum di Indonesia dan aktif di Komisi Hukum Nasional serta Pusat Dokumen Hukum. Semua aktivitas itu tidak pernah direncanakannya.  

“Sederhana saja, saya tidak pernah terlalu merencanakan sebuah program, saya memang mengikuti saja keadaannya,” kata Mardjono yang akrab dipanggil Pak Boy.

Mardjono yang awalnya bekerja di kantor ABNR menceritakan bahwa dirinya ketika itu sulit mencari dan mendapatkan peraturan hukum karena tersebar di berbagai macam kantor pemerintahan. Maka dari itu dibuatlah Pusat Dokumentasi Hukum FHUI bersama dengan BPHN.

“Bidang dokumentansi hukum memang tidak seksi, tetapi saya seorang akademisi hukum. Ketika saya belajar di Amerika dan bekerja di ABNR maupun bekerja di lembaga kriminologi, saya sibuk membaca dan mengumpulkan bahan-bahan untuk diteliti melalui bahan Pustaka. Nah, saya berpikir bagaimana membuat dokumentasi hukum sebagai pusat,” paparnya.

Menurutnya, pembaharuan hukum jauh tertinggal dibandingkan dengan pembaharuan ekonomi yang lebih cepat. Terlebih, kata dia, ketika itu kantor pemerintahan sudah melakukan pembaharuan, sehingga sangat diperlukan pembaharuan hukum seperti membentuk perundang-undangan yang baru. (Baca: Prediksi Profesi Lawyer 10 Tahun ke Depan di Mata Idwan Ganie)

Mardjono berpendapat, asal kekacauan regulasi di Indonesia dimulai dari kantor pemerintahan yang membuat peraturan tanpa asas hukum dan perundang-undangan. Maka dari itu, dia merasa perlu untuk meluruskannya. Meski demikian, dia tidak merasa telah menjadi aktivis pembaharuan hukum.

Tags:

Berita Terkait