Menelisik Wacana Hukuman Mati Koruptor, Mengobati Frustasi Negeri
Kolom

Menelisik Wacana Hukuman Mati Koruptor, Mengobati Frustasi Negeri

​​​​​​​Belum ada bukti hukuman mati mampu memecahkan persoalan korupsi.

Bacaan 8 Menit
Korneles Materay. Foto: Istimewa
Korneles Materay. Foto: Istimewa

Pada 16 Februari 2021 lalu, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia melontarkan pernyataan bahwa korupsi di tengah pandemi yang dilakukan Menteri Sosial Juliari Batubara dan Menteri Kelautan dan Perikanan Eddy Prabowo layak dituntut dengan ancaman hukuman mati. Perlahan wacana hukuman mati kembali menghiasi diskursus publik tanah air.

Pada 2018 silam, isu ini pernah menguat. Kala itu, proyek pengadaan air bersih bagi korban tsunami Donggala, Palu yang dikerjakan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dibancak. Korupsi dalam keadaan bencana kerap terjadi. Sepanjang 2004-2018, setidaknya ada 11 kasus korupsi dana bantuan bencana.

Secara normatif, ancaman hukuman mati termuat dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi. Norma tersebut memungkinkan penerapan hukuman mati dengan mengaitkan pada keadaan tertentu. Dalam penjelasan Pasal a quo disebutkan, bahwa keadaan tertentu yaitu keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

Konstruksi hipotetis norma ini membuat pidana mati tidak serta merta bisa diterapkan dalam kasus-kasus korupsi meskipun kerugian negara besar, jika tidak memenuhi faktor keadaan tertentu. Kondisi pandemi Covid-19 ini memenuhi syarat keadaan tertentu tersebut.

Bagaimana peluang penerapan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi di tengah pandemi Covid-19 khususnya terhadap Menteri Sosial dan Menteri Kelautan dan Perikanan? Penulis melihat, norma tersebut sendiri sebetulnya memunculkan tiga pandangan di kalangan para ahli. Pertama, ahli yang memandang bahwa secara penalaran sistematis, norma Pasal 2 ayat (2) berlaku limitatif hanya pada korupsi jenis kerugian negara/perekonomian negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 atau Pasal 3. Dengan demikian, secara absolut korupsi jenis suap atau gratifikasi sebagaimana yang dilakukan  kedua Menteri tidak dapat diterapkan ketentuan ini.

Kedua, ahli yang memandang pengaturan Pasal 2 ayat (2) merupakan pengaturan yang bersifat umum (generalis) alias tidak hanya terkait tindak pidana kerugian negara. Pasal tersebut tidak melihat jenis korupsinya, melainkan bila dilatarbelakangi syarat keadaan tertentu, maka pidana mati dapat dijatuhkan. Bahkan pandangan ini cenderung tak mempersoalkan adanya kerugian negara, asalkan dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Dengan kata lain, suap atau gratifikasi dalam kasus bansos bisa saja dikenai pasal dimaksud.

Ketiga, ahli yang menggabungkan/mengkombinasikan keadaan tertentu dengan sedapat mungkin diperhitungkan kerugian negara secara resmi apapun jenis deliknya. Oleh karenanya, jenis korupsi apapun dalam keadaan di atas bisa diperhitungkan dan dapat dipertimbangkan hukuman mati. Maka, peluang itu tergantung penafsiran aparat penegak hukum.

Tags:

Berita Terkait