Sengkarut SP3 KPK dalam Perkara BLBI
Kolom

Sengkarut SP3 KPK dalam Perkara BLBI

​​​​​​​Pemberian SP3 KPK ini akan menjadi kotak pandora bagi pemberantasan korupsi.

Bacaan 5 Menit
Kurnia Ramadhana. Foto: Istimewa
Kurnia Ramadhana. Foto: Istimewa

Perlahan namun pasti, dampak perubahan regulasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kian memperburuk situasi. Selain merobohkan independensi kelembagaan, memperlambat laju penindakan, kali ini perkara besar pun dihentikan dengan adanya kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Tak tanggung-tanggung, sebagai pembuka, perkara penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Sjamsul dan Itjih Nursalim. yang telah merugikan keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun resmi dihentikan oleh KPK.

Sebelum masuk lebih jauh terkait perkara BLBI, akan lebih baik jika tulisan ini dimulai dengan mengulas problematika kewenangan SP3 di KPK. Penting untuk diingat, bahwa pemberian kewenangan SP3 yang tertera dalam Pasal 40 UU 19/2019 bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2004 lalu. Kala itu, MK menegaskan bahwa larangan pemberian SP3 KPK semata-mata untuk mencegah lembaga antirasuah tersebut melakukan penyalahgunaan wewenangnya. 

Dengan itu, muncul satu pertanyaan penting: bagaimana jika KPK sudah menetapkan seseorang sebagai tersangka, namun kemudian hari ditemukan fakta bahwa bukti permulaan tidak terpenuhi? Terkait ini, MK juga sudah menjawab dalam putusannya beberapa tahun lalu. Jika kondisi demikian, MK mengatakan KPK tetap harus membawa perkaranya ke persidangan dan menuntut bebas pelaku tersebut. Penegasan itu dapat dipahami, sebab, KPK dibentuk sebagai lembaga extraordinary dengan kewenangan yang besar. Sehingga menuntut prinsip kehati-hatian dalam menangani sebuah perkara.

Sebenarnya, tanpa dibekali kewenangan SP3, KPK selama ini dapat menjalankan juga fungsi tersebut, meskipun dengan metode berbeda. Misalnya, lembaga antirasuah itu dapat menghentikan laju penanganan perkara pada tingkat penyelidikan. Sebab, berdasarkan UU KPK, penyelidikan yang tertera dalam regulasi itu berbeda definisinya atau satu tingkat lebih tinggi ketimbang dengan KUHAP. Jika KUHAP masih berbicara tentang menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, UU KPK sudah masuk pada isu mencari bukti permulaan. Maka dari itu, lazimnya di KPK, ketika surat perintah penyidikan diterbtitkan, dengan sendirinya sudah ada penetapan tersangka. Hal ini pun sudah sering dilakukan oleh KPK, berdasarkan data, sejak 2016 sampai pertengahan 2019, setidaknya 162 kasus telah dihentikan pada tahap penyelidikan.

Tidak hanya itu, KPK juga diperkenankan melimpahkan berkas penenganan perkara ke penegak hukum lain.  Ini dilakukan tatkala dalam perkembangan penanganan perkara, ternyata tidak memenuhi ketentuan Pasal 11 ayat (1) UU KPK, misalnya: kerugian negara di bawah Rp1 miliar atau tidak ada keterlibatan penyelenggara negara atu penegak hukum. Nantinya, kelanjutan perkara itu dikembalikan kepada penegak hukum lain, apakah tetap dilanjutkan atau dihentikan dengan langsung mengeluarkan SP3. Praktik ini pernah dilakukan oleh KPK pada tahun 2015 lalu, saat lembaga antirasuah itu melimpahkan perkara Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung. Bahkan, satu tahun ke belakang, KPK juga melakukan hal sama terhadap perkara dugaan suap di Universitas Negeri Jakarta, yang akhirnya dilimpahkan ke Kepolisian.

Isu lain yang juga tak kalah penting perihal SP3 KPK adalah adanya pembatasan waktu penyidikan selama dua tahun. Tentu poin ini keliru, sebab, bagaimana mungkin waktu penyidikan perkara korupsi yang sangat kompleks diberikan limitasi waktu. Selain pencarian bukti yang seringkali memakan waktu panjang karena tersebar di dalam atau luar negeri, juga aturan itu seakan menganggap mudah tatkala membongkar praktik korupsi. Padahal, sebagaimana jamak dipahami publik, praktik korupsi kerap menjerat pejabat yang kadangkala sulit diproses hukum.

Masuk pada substansi perkara, problematika penghentian penyidikan ini sebenarnya tak bisa dilepaskan begitu saja dari kontroversi putusan kasasi yang pada akhirnya melepaskan Syafruddin Arsyad Tumenggung. Pertengahan tahun 2019 lalu Mahkamah Agung berpendapat bahwa perkara yang menjerat Tumenggung bukan merupakan perbuatan pidana, melainkan berada pada ranah perdata dan administrasi. Padahal, pada pengadilan tingkat pertama dan banding (judex factie)mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ini terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan korupsi, bahkan sudah diganjar hukuman belasan tahun penjara.

Tags:

Berita Terkait