Hibah adalah suatu perbuatan yang sering menimbulkan persoalan hukum. Pengaturannya pun tak hanya satu: selain dalam KUH Perdata, hibah diatur dalam hukum Islam (Kompilasi Hukum Islam). Ini juga tercermin dari adanya perkara perdata umum dan perdata agama berkaitan dengan hibah.
Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2020 mencatat ada 154 beban perkara hibah yang ditangani Pengadilan Agama di seluruh Indonesia, akumulasi perkara tahun 2019 yang belum diputus dan perkara masuk tahun berikutnya. Dilihat dari jumlah dan jenis perkara, hibah menempati posisi ke-10 dari 22 item perkara yang ditangani lingkungan Peradilan Agama. Pada tahun yang sama Mahkamah Agung menangani 23 perkara hibah di tingkat kasasi.
Beberapa kamus hukum mendefinisikan hibah sebagai pemberian sesuatu barang tertentu secara sukarela dengan mengalihkan hak atas barang tersebut kepada orang lain (Sudarsono, 2009: 164); pemberian (Setiawan Widagdo, 2012: 203); atau, suatu persetujuan dengan mana seseorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma tanpa menariknya kembali untuk kepentingan seseorang menerima barang itu (Citra Umbara, 2011: 141).
Secara etimologis, hibah berasal dari kata ‘hubuubur riih’, nuruuruha, yang bermakna perjalanan angin. Dalam perkembangannya, dipakai istilah hibah dengan maksud memberikan kepada orang lain baik berupa harta maupun selain itu. Di dalam syariat Islam, hibah berarti akad yang pokoknya adalah pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu ia masih hidup tanpa adanya imbalan apapun (Abdul Manan, 2006: 131).