Akademisi Ini Soroti Problem Ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja
Berita

Akademisi Ini Soroti Problem Ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja

Mulai persoalan PKWT, alih daya, dan PHK.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Foto: Hol
Foto: Hol

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengubah sebagian ketentuan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Idealnya setiap perubahan regulasi memberikan substansi yang lebih baik daripada peraturan sebelumnya. Sayangnya, hal tersebut seolah tidak terlihat dalam perubahan UU Ketenagakerjaan melalui UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya.  

Dosen Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Nabiyla Risfa Izzati, mengatakan UU Cipta Kerja seharusnya mampu membenahi persoalan UU Ketenagakerjaan. Selama ini UU Ketenagakerjaan dikenal sangat formalistik dan kurang melindungi buruh sektor informal. Tapi masalah itu tidak dituntaskan UU Cipta Kerja, justru malah menambah masalah baru. Misalnya soal perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), alih daya, dan pengupahan dalam UU Cipta Kerja yang cenderung merugikan buruh.

Dia melihat hubungan kerja yang diatur dalam UU Cipta Kerja tidak menuntaskan masalah yang ada di UU Ketenagakerjaan seperti hubungan kerja yang sifatnya formal yakni ada unsur upah, perintah, dan pekerjaan. Padahal revolusi 4.0 membawa perubahan signifikan termasuk dalam hubungan kerja. Selama ini pekerja lepas atau freelance sulit untuk ditempatkan dalam perlindungan hukum ketenagakerjaan karena kerja sama yang dijalin bentuknya kemitraan, bukan hubungan kerja.

“Perlindungan dalam UU Cipta Kerja hanya mencakup para pihak yang terikat dalam perjanjian kerja, bukan yang terikat dalam hubungan kemitraan,” kata Nabiyla dalam Hukumonline Academy 9 bertema “Potret Hukum Ketenagakerjaan Pasca UU Cipta Kerja: Mulai dari PKWT Hingga PHK” yang diselenggarakan secara daring, Selasa (4/5/2021). (Baca Juga: 10 Dampak UU Cipta Kerja terhadap UU Ketenagakerjaan)

Misalnya, PP No.35 Tahun 2021 tentang PKWT, Outcourcing, menggolongkan pekerja harian dalam perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Hal ini berarti pekerja harian berhak mendapat tunjangan yang sama seperti pekerja PKWT umumnya, seperti tunjangan hari raya keagamaan (THR). Untuk tunjangan lainnya mengacu kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (PKB).

Menurutnya, salah satu hal yang positif dalam UU Cipta Kerja yakni adanya program jaminan sosial yang disebut jaminan kehilangan pekerjaan (JKP). Manfaatnya dapat diberikan kepada buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) berupa uang tunai, akses terhadap informasi pasar kerja dan pelatihan kerja.

“Tapi, baik UU Ketenagakerjaan, UU Cipta Kerja, maupun peraturan turunannya cenderung memberi perlindungan pada pekerja/buruh sektor formal,” kata Nabiyla.   

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait