MK Batalkan Kewenangan Dewas KPK Terkait Izin Penyadapan, Penggeledahan, Penyitaan
Utama

MK Batalkan Kewenangan Dewas KPK Terkait Izin Penyadapan, Penggeledahan, Penyitaan

Karena Dewas KPK bukan aparat penegak hukum. Kini, tindakan penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan oleh KPK cukup diberitahukan kepada Dewas KPK dalam tenggang waktu 14 hari kerja sejak selesainya tindakan pro justitia tersebut.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 7 Menit
Suasana sidang pembacaan sejumlah putusan pengujian UU KPK digelar secara daring dan luring di ruang sidang MK, Selasa (4/5/2021). Foto: RES
Suasana sidang pembacaan sejumlah putusan pengujian UU KPK digelar secara daring dan luring di ruang sidang MK, Selasa (4/5/2021). Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya membatalkan kewenangan Dewan Pengawas (Dewas) KPK terkait pemberian izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Sebab, kewenangan itu merupakan tindakan pro justitia yang hanya boleh dilakukan aparat penegak hukum. Sejak putusan ini, tindakan penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan oleh KPK cukup diberitahukan kepada Dewas KPK.        

Demikian salah satu poin penting bunyi putusan MK No. 70/PUU-XVII/2019 terkait pengujian materil UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang dibacakan, Selasa (4/5/2021). Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid dan sejumlah dosen Fakultas Hukum UII tersebut. (Baca Juga: Uji Formil UU KPK Ditolak, Hakim MK Ini Dissenting)

Fathul Wahid dkk memohon pengujian Pasal 1 angka 3; Pasal 3; Pasal 12 B; Pasal 24; Pasal 37 B ayat (1) huruf B; Pasal 40 ayat (1); Pasal 45 a ayat (3); dan Pasal 47 Perubahan UU KPK. Dalam permohonannya, Pasal 12B, Pasal 37B ayat (1) huruf b, dan Pasal 47 ayat (1) UU KPK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Para Pemohon beralasan hal tersebut karena penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan merupakan tindakan pro justitia, sehingga tidak tepat jika kewenangan memberikan izin atas tindakan-tindakan tersebut dimiliki Dewas KPK.  

Dalam amar putusannya, Mahkamah membatalkan berlakunya Pasal 12B, Pasal 37B ayat (1) huruf b, dan Pasal 47 ayat (2) UU KPK karena bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menerangkan Pasal 12 UU KPK, tindakan penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan merupakan kewenangan yang diberikan undang-undang kepada KPK dalam proses peradilan (pro justitia). Ketentuan Pasal 12B ayat (1) UU KPK, penyadapan oleh KPK harus mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas.

Dijelaskan Mahkamah, kedudukan Dewan Pengawas dalam UU KPK adalah bagian dari internal KPK. Dewan Pengawas bertugas sebagai pengawas guna mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) sepanjang tidak berkenaan dengan kewenangan yudisial (pro justitia). Sebagai salah satu unsur dari KPK, Dewan Pengawas bertugas dan berwenang mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK.

“Dalam pengertian demikian, kedudukan Dewan Pengawas tidak bersifat hierarkis dengan Pimpinan KPK, sehingga dalam desain besar pemberantasan korupsi keduanya tidak saling membawahi (tidak sub-ordinasi, red), namun saling bersinergi menjalankan fungsi masing-masing,” demikian pandangan Mahkamah dalam pertimbangan putusan ini.

Mahkamah menilai adanya ketentuan yang mengharuskan KPK meminta izin kepada Dewan Pengawas sebelum penyadapan tidak dapat dikatakan sebagai pelaksanaan check and balances. Sebab, pada dasarnya Dewan Pengawas bukanlah aparat penegak hukum sebagaimana kewenangan yang dimiliki Pimpinan KPK dan karenanya (Dewan Pengawas, red) tidak memiliki kewenangan terkait dengan tindakan pro justitia.

Tags:

Berita Terkait