PSHK: Putusan MK Gagal Membuat KPK Bangkit
Terbaru

PSHK: Putusan MK Gagal Membuat KPK Bangkit

PSHK menganggap putusan MK ihwal pengujian formil dan materil UU KPK adalah putusan yang tidak memiliki kadar konstitusionalitas dan gagal menyelamatkan KPK dari keterpurukan yang semakin jauh.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Keinginan/harapan publik untuk membatalkan berlakunya UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK (UU KPK) pupus di tangan Mahkamah Konstitusi (MK). Pasalnya, MK menolak keseluruhan pengujian formil UU KPK dan hanya mengabulkan sebagian uji materi yang diajukan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid, dkk, khususnya pembatalan kewenangan Dewan Pengawas terkait kewajiban izin penyadapan, penggeledahan, penyitaan.       

“Kedua putusan MK itu melukai hati mayoritas rakyat dan anti pemberantasan korupsi,” ujar Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi dalam keteranganya, Kamis (6/4/2021). (Baca Juga: Uji Formil UU KPK Ditolak, Hakim MK Ini Dissenting)

Dalam putusan pengujian formil UU KPK, PSHK menilai mengandung beberapa kekeliruan. Pertama, Hakim keliru ketika menyatakan tidak terjadi penyelundupan hukum dalam revisi UU KPK. Hal itu memperlihatkan hakim tidak dengan rinci melihat fakta yang dibentangkan dalam permohonan.

Kedua, Hakim keliru kala menyatakan naskah akademik (NA) revisi UU KPK tidak fiktif. Apalagi klaim itu didasarkan hanya kepada KBBI yang secara kata menyebut fiktif itu “fiksi” atau tidak berwujud. Sementara NA revisi UU KPK ada wujudnya. “Pertimbangan ini sangat meruntuhkan wibawa dan mandat konstitusional MK,” sebutnya.  

Ketiga, Hakim keliru kala menyebut revisi UU KPK telah partisipatif dan menyerap aspirasi publik karena telah dilakukan seminar di sebagian kecil kampus di Indonesia pada tahun 2017. Tetapi, Hakim gagal menjelaskan bagaimana aspirasi yang disampaikan saat seminar terlaksana karena sejak bergulirnya wacana revisi UU KPK sejak periode kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara konsisten selalu mendapat perlawanan dari publik.

Keempat, Hakim keliru ketika menyebut demonstrasi yang masif di hampir seluruh penjuru Indonesia adalah sebagai bentuk kebebasan menyatakan pendapat saja. Hakim abai dalam memaknai penolakan publik merupakan bagian dari partisipasi dalam proses legislasi dan tidak ada hubungannya dengan aspek formil pembentukan undang-undang.

“Seharusnya Hakim paham gelombang penolakan publik hingga menimbulkan korban nyawa mahasiswa adalah kulminasi diabaikannya proses partisipasi publik oleh DPR dan Pemerintah selama pembahasan revisi KPK berlangsung.”  

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait