Schenking dalam Lingkaran Keluarga, Litigasi Penarikan Kembali Hibah

Schenking dalam Lingkaran Keluarga, Litigasi Penarikan Kembali Hibah

Perundang-undangan dan yurisprudensi memungkinkan orang tua mencabut kembali schenking yang telah diberikan kepada anaknya. Jika ingin menuntut pengembalian, ada aturan yang perlu dipedomani.
Schenking dalam Lingkaran Keluarga, Litigasi Penarikan Kembali Hibah

Hubungan antar anggota keluarga seyogianya rukun dan harmonis. Tetapi dalam praktik tak selalu demikian adanya. Itu sebabnya, hukum mengatur bagaimana kewajiban orang tua untuk mengasuh, mendidik, membesarkan, dan melindungi anaknya. Sebaliknya, hukum juga mengatur kewajiban anak terhadap orang tuanya. Konsep-konsep seperti outerlijke macht, veruchgenot, vooogdij (perwalian), atau handlichting (pendewasaan) dalam KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek) menandakan adanya aspek hukum dalam hubungan keluarga. Kewajiban orang tua, anggota keluarga dan pemerintah terhadap anak-anak juga diatur dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagaimana diubah dengan UU No. 35 Tahun 2014.

Dari jalur anak ke atas juga ada norma yang mengaturnya. Pasal 46 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan: (1) anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik; (2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya orang tua dan keluarga dalam garis keturunan ke atas bila mereka memerlukan bantuannya. Simak juga rumusan Pasal 321 KUH Perdata berikut: “tiap-tiap anak wajib memberi nafkah kepada kedua orang tuanya dan anggota keluarga sedarahnya dalam garis ke atas apabila mereka dalam keadaan miskin”. Sudah pasti, norma agama yang dianut oleh masing-masing warga negara Indonesia mengatur penghormatan anak terhadap orang tuanya. 

Orang tua tak hanya membesarkan anak-anaknya dalam keluarga. Kadangkala, anak menghibahkan harta kepada anak yang sudah dewasa dengan tujuan agar hidupnya kelah terjamin. Hibah dikenal dalam sistem hukum adat, perdata Barat, dan hukum agama. Hibah adalah pemberian sukarela dengan mengalihkan hak secara cuma-cuma untuk kepentingan penerima barang itu (HM Fauzan dan Baharuddin Siagian, Kamus Hukum & Yurisprudensi, 2017: 332). Hibah sering disamakan dengan pemberian, dan dalam bahasa Belanda disebut schenking. Menurut Subekti (1996: 165), schenking adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu menyanggupi dengan cuma-cuma dengan secara mutlak memberikan suatu benda kepada pihak lainnya (yakni penerima pemberian).

Pasal 1676 KUH Perdata menegaskan prinsip utama: setiap orang boleh menjadi pemberi atau penerima hibah, kecuali mereka yang oleh Undang-Undang dinyatakan tak cakap melakukan itu. Anak yang belum dewasa, misalnya, dilarang menjadi pemberi hibah. Dalam praktik, prioritas pemberian hibah adalah anggota keluarga. Salah satu yang sering menimbulkan perdebatan adalah pemberian hibah dari suami kepada isteri. 

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional