Menyoal Pembatasan Kewenangan Penyidikan dalam Perkara TPPU
Terbaru

Menyoal Pembatasan Kewenangan Penyidikan dalam Perkara TPPU

Penunjukan kewenangan hanya pada keenam lembaga dianggap tidak mampu mengatasi kejahatan TPPU karena sumber risiko tindak pidana asal semakin berkembang.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Terdapat enam lembaga yang memiliki kewenangan menyidik perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU). Keenam lembaga tersebut yaitu Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Bea dan Cukai dan Kementerian Keuangan. Ketentuan tersebut tercantum dalam penjelasan Pasal 74 Undang Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.

Namun seiring implementasinya, kewenangan penyidikan tersebut mendapat penolakan dari berbagai pihak khususnya penyidik dengan status pegawai negeri sipil. Selain itu, pembatasan kewenangan enam lembaga tersebut juga bertentangan dengan batang tubuh Pasal 74 UU TPPU yang menyatakan “Penyidikan tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut UU ini.”

Dari pasal tersebut dapat dipahami bahwa penyidik dapat berasal dari lembaga negara lain selain enam lembaga tersebut. Keenam lembaga tersebut dianggap tidak mampu mengatasi kejahatan TPPU karena sumber risiko tindak pidana asal TPPU tersebut semakin berkembang. Risiko tindak pidana asal TPPU dapat terjadi pada berbagai sektor seperti keuangan, kehutanan dan kelautan, lingkungan hidup, kesehatan, farmasi hingga makanan.

“Dengan enam (lembaga) saja ada aset yang tidak bisa dikejar karena TPPU dapat terjadi pada (sektor) makanan, obat-obatan, kesehatan, lingkungan hidup, keuangan, kelautan dan perikanan sehingga banyak kejahatan yang tidak mungkin dikejar sendiri. Ini menimbulkan ketidakadilan ketidakpastian hukum, kurang optimal, dan aset recovery (tidak optimal),” jelas mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Husein, Kamis (21/5). (Baca Juga: Uang Pecahan 1.000 Dolar Singapura dan Kasus Kejahatan Keuangan di Tanah Air)

Penjelasan Pasal 74 UU TPPU berbunyi: “Yang dimaksud dengan “penyidik tindak pidana asal” adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan tindak pidana Pencucian Uang apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana Pencucian Uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai kewenangannya.”

Yunus menyampaikan kondisi tidak optimal tersebut berisiko mengurangi citra positif luar negeri terhadap Indonesia dalam komitmen pemberantasan TPPU. Terlebih, Indonesia sedang mengajukan diri sebagai anggota Financial Action Task Force (FATF). “Dengan kurang optimalnya penegakan hukum beri penilaian kurang bagus khususnya Indonesia sedang melamar FATF. Indonesia sudah diterima sebagai observer dilihat lagi apakah Indonesia sudah bagus penerapan UU-nya,” kata Kepala Sekolah Tinggi Hukum Jentera ini.

Dia juga menceritakan pemberian kewenangan penyidikan awalnya hanya dimiliki Kepolisian. Namun seiring revisi UU TPPU pemberian kewenangan penyidikan tersebut diperluas. “Dalam perjalanannya di DPR itu (penambaha tidak mudah untuk mengubah sehingga yang terjadi membuka kewenangan pada enam penyidik saja, Polri, Kejaksaan, BNN, KPK, pajak, beacukai. Itu pembahasan 2010,” kata Yunus.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait