Refleksi Berpulangnya Prof Mardjono Reksodiputro dan Wimar Witoelar
Kolom

Refleksi Berpulangnya Prof Mardjono Reksodiputro dan Wimar Witoelar

​​​​​​​Berpulangnya Wimar Witoelar dan Prof Mardjono Reksodiputro adalah penanda semakin berkurangnya teladan dari generasi terdahulu di ruang publik. Selamat jalan Pak Boy dan WW.

Bacaan 5 Menit
Gita Putri Damayana. Foto: Istimewa
Gita Putri Damayana. Foto: Istimewa

Pada minggu ketiga Mei lalu, Wimar Witoelar dan Prof. Mardjono Reksodiputro berpulang. Berita berpulangnya dua figur ini bagi sebagian kalangan diterima dengan sedih namun cukup mafhum karena kedua sosok tersebut sudah menderita sakit beberapa lama. Publik mengenal Wimar Witoelar, yang kerap disebut WW, sejak acara talkshownya di SCTV berjudul “Perspektif” dihentikan pada tahun 1996 karena dianggap terlalu kritis ke Pemerintah Orde Baru. Ketika Gus Dur menjadi Presiden Indonesia keempat tahun 1999, Wimar menjadi Juru Bicara Kepresidenan RI.

Sementara, Prof Mardjono Reksodiputro, yang akrab dipanggil “Pak Boy” pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) sejak tahun 1986 hingga 1990; Guru Besar FHUI dan STIH Jentera. Semasa kariernya sebagai akademisi hingga akhir hayatnya, Prof Mardjono terlibat membangun pengetahuan hukum pidana di berbagai kampus serta termasuk akademisi yang terlibat dalam revisi KUHP sejak awal.

Meski terlihat sekilas Prof Mardjono dan Wimar bergerak di bidang yang tidak berhubungan satu sama lain, namun keduanya merepresentasikan gagasan terbaik dari mengenai komunikasi publik dan reformasi hukum dari masa pemerintahan Gus Dur. Sebagai juru bicara kepresidenan, Wimar bertugas untuk menyampaikan kebijakan Presiden Gus Dur, terutama ke media luar negeri. Pada era pemerintahan Gus Dur, berbagai tantangan menghadang dari yang berbasis konflik daerah maupun penegakan hukum. Seperti merespon hasil referendum Timor Timur (kini Timor Leste) yang memutuskan berpisah dari Indonesia, konflik Papua hingga Aceh yang menuntut referendum. Sementara Prof Mardjono, sebagai anggota Komisi Hukum Nasional (KHN) bertanggung jawab menyelaraskan reformasi hukum yang derapnya tidak secepat reformasi politik sejak reformasi 1998.

Setelah Presiden Gus Dur jatuh dari kursi kepresidenan, Wimar tidak lagi menjadi juru bicara kepresidenan dan Prof Mardjono tetap menjabat sebagai anggota Komisi Hukum Nasional hingga dibubarkan oleh Presiden Joko WIdodo pada tahun 2014.

Dalam perannya sebagai juru bicara Presiden pada masa Gus Dur, Wimar telah mengkomunikasikan kebijakan Presiden sedemikian rupa sehinga mendudukkan lembaga kepresidenan sebagaimana marwahnya; yaitu sebagai institusi yang mendapat mandat dari konstitusi untuk menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan tertinggi. Sehingga ketika lembaga kepresidenan tersebut mendapat gempuran sana-sini, respon yang diberikan oleh Presiden melalui jubirnya perlu terukur dan multi-interpretasi.

Meski Gus Dur dikenal sebagai individu yang senang bergurau dan luwes; komunikasi yang disampaikan oleh jubir selalu tegas dan tidak menimbulkan berbagai penafsiran. Contohnya ketika pasca referendum Timor Timur tahun 1999 terjadi kerusuhan dan pelanggaran HAM, Gus Dur mengambil langkah tegas mencopot Menko Polkam Wiranto yang diduga berada di balik kerusuhan tersebut. Tidak ada usaha memperhalus posisi Presiden Gus Dur memecat Wiranto, padahal waktu itu Gus Dur naik sebagai Presiden bukanlah berdasarkan pilpres langsung, melainkan dari konsensus dan kesepakatan elit politik untuk memiliki figur yang lebih bisa mempersatukan publik.

Sementara itu, dengan mendirikan KHN, untuk memberikan advis dan masukan strategis di bidang hukum; terlihat ada upaya Gus Dur untuk memisahkan peran KHN versus posisi Kementerian Hukum dan HAM yang memainkan peran sebagai pembuat kebijakan sektor hukum. Seolah ada garis api yang tidak bisa ditembus antara penyusunan kebijakan sehari-hari dengan pertimbangan hukum yang perlu didengar oleh Presiden.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait