Pegawai KPK Minta Penegasan MK Soal Tafsir Kata Dapat dan Tidak Merugikan Pegawai
Utama

Pegawai KPK Minta Penegasan MK Soal Tafsir Kata Dapat dan Tidak Merugikan Pegawai

Mereka menganggap KPK dan BKN mempunyai penafsiran berbeda sehingga merugikan pegawai.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 4 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Foto: RES

Sejumlah pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajukan permohonan uji ke Mahkamah Konstitusi (MK) berkaitan dengan pengalihan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara yang tertera dalam Pasal 69 B ayat 1 dan pasal 69 C Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK terhadap pasal 1, pasal 28 D ayat 1, 2, 3 UUD 1945.

Salah satu pegawai KPK Rasamala Aritonang mengatakan mengatakan pihaknya ingin meminta MK untuk memberi penegasan payung hukum terhadap frasa jika pengalihan status tidak boleh merugikan pegawai KPK. Sebab yang terjadi saat ini justru pengalihan status tersebut sangat nyata terlihat merugikan pegawai KPK.

“Tafsir kata ‘dapat’ dimaknai seluruh pegawai KPK harus beralih status menjadi ASN, dia tidak dapat beralih kecuali pensiun, menolak beralih status, dikenai pelanggaram etik atau hukum yang menyebabkan dia harus diberhentikan sebagai pegawai KPK,” ujar Rasamala kepada hukumonline.

Berikut bunyi Pasal 69 B ayat (1); Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, penyelidik atau penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku dapat diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. (Baca: 1.271 Pegawai KPK Jadi ASN, Firli: Tak Ada Upaya Menyingkirkan Siapapun Lewat TWK)

Pasal 69 C; Pada saat Urrdang-Undang ini mulai berlaku, Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling larna 2 (dua) tahun terhitung sejak UndangUndang ini mulai berlaku dapat diangkat menjadi pegawai aparatur sipil negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pria yang mengemban jabatan terakhir sebagai kepala bagian perancangan dan produk hukum ini berpendapat kalau penafsiran itu yang digunakan maka hal ini tentu saja tidak merugikan pegawai. Menurutnya hal itu sama sekali berbeda dengan pernyataan Kepala Badan Kepegawaian Nasional (BKN) Bima Haria Wibisana yang dalam konferensi pers menyatakan jika yang dimaksud tidak merugikan adalah hak-haknya terpenuhi ketika diberhentikan.

“Bukan hak kompensasi atas pemberhentian, hak itu beralih itu status ke ASN harus diberikan tetapi itu bukan hak yang harus dituntut pegawai, itu hak by law, sistem peralihan ini harus dimaknai seperti itu. Berdasarkan uu kpk, makna pasal 69 itu semua harus beralih status jadi asn, kecuali 4 hal tadi. Kalau itu diberlakukan maknanya itu inline,” terangnya.

Tags:

Berita Terkait