Diharapkan Revisi Tak Dibatasi 4 Pasal dalam UU ITE
Terbaru

Diharapkan Revisi Tak Dibatasi 4 Pasal dalam UU ITE

Pembentuk UU perlu mencermati semua ketentuan UU ITE yang memang perlu direvisi. Terpenting, revisi UU ITE tak boleh kontradiktif dengan hak kebebasan berekspresi masyarakat melalui ruang digital.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi. Hol
Ilustrasi. Hol

Berdasarkan hasil Tim Kajian, pemerintah bakal melakukan revisi terbatas pada UU No.19 tahun 2016 tentang Perubahan UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ada sebanyak empat pasal yang dipastikan bakal dilakukan revisi secara terbatas. Tapi, perlu dilihat pula sejumlah pasal lain yang masih berpotensi menimbulkan ketidakjelasan atau multitafsir dalam penerapannya, sehingga revisi UU ITE ini mesti dilakukan secara komprehensif.

Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Suparji Ahmad menilai revisi UU 19/2016 menjadi keharusan di tengah banyaknya kriminalisasi terhadap masyarakat yang mengkritik. Kepastian merevisi sebagai usul inisiatif pemerintah perlu didukung yang diharapkan dapat mengatasi masalah dan mencegah over kriminalisasi, multitafsir, serta ketidakjelasan dalam UU ITE yang berlaku saat ini.

Untuk itu, Suparji berharap pembentuk UU agar tak hanya fokus pada empat pasal yang bakal direvisi, seperti Pasal 27, 28, 29, dan Pasal 45C UU ITE. Sebab, dia melihat masih terdapat banyak frasa, kata dalam pasal-pasal UU ITE yang cenderung berpotensi menimbukan multitafsir dan ketidakjelasan dalam penerapannya.

“Misalnya yang pertama tafsir tentang frasa ‘tanpa hak'. Implementasi frasa tersebut belum ada kepastian hukum. Ketika 'tanpa hak' sebagai perbuatan melawan hukum, tafsir melawan hukum formil atau materil? Ini perlu ada kejelasan,” ujarnya melalui keterangan tertulisnya kepada Hukumonline, Rabu (9/6/2021). (Baca Juga: Hasil Tim Kajian: Pemerintah Bakal Revisi 4 Pasal dalam UU ITE)  

Dia menilai dalam revisi perlu pula memperjelas tafsir tentang membuat dapat diaksesnya informasi eletronik dan/atau dokumen eletronik” dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Menurutnya, rumusan norma dalam Pasal 27 ayat (3) masih terbilang amat luas dan bias. Itu sebab menjadi keharusan memperjelas tafsir frasa tersebut.

Demikian pula tafsir kata “menimbulkan” yang dalam rumusan pasal semestinya dipertegas sebagai delik formil atau materil, serta bagaimana konstruksinya. Selanjutnya berkaitan dengan alat bukti eletronik pun masih terjadi multitafsir implementasinya. Ketentuan Pasal 6 pun kerap terjadi perbedaan penafsiran. Misalnya, terkait rumusan “dapat diakses”, ditampilkan”.

“Ini menjadi penting karena berpengaruh pada teknis pembuktian saat penyidikan dan persidangan,” ujarnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait