Menanti Ketuk Palu Hakim Atas Gugatan CLS Pencemaran Udara
Utama

Menanti Ketuk Palu Hakim Atas Gugatan CLS Pencemaran Udara

Para Tergugat mempersoalkan kewenangan Pengadilan Negeri karena gugatan berkaitan dengan perbuatan melawan hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan yang dianggap kewenangan PTUN.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 4 Menit
Kendaraan melintas di jalan tol di Jakarta Selatan. Berkontribusi pada pencemaran udara. Foto: MYS
Kendaraan melintas di jalan tol di Jakarta Selatan. Berkontribusi pada pencemaran udara. Foto: MYS

Untuk pertama kalinya di Indonesia, warga negara mengajukan gugatan terhadap pemerintah gara-gara pencemaran udara. Secara khusus, kualitas udara Jakarta yang digugat. Menggunakan mekanisme citizen law suit (CLS), 32 orang warga negara Indonesia menggugat Presiden (Tergugat I), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Tergugat II), Menteri Dalam Negeri (Tergugat III), Menteri Kesehatan (Tergugat IV), dan Gubernur DKI Jakarta (Tergugat V). Adapun Gubernur Banten dan Gubernur Jawa Barat ikut sebagai tergugat.

Perjalanan atas gugatan ini terbilang lama, hampir memakan waktu dua tahun. Seharusnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sudah membacakan putusan pada 10 Juni 2021 lalu. Itu pun setelah tertunda selama dua pekan. Pada 10 Juni lalu, majelis hakim kembali menunda pembacaan putusan hingga 24 Juni 2021 mendatang.

Guru Besar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, MR Andri Gunawan Wibisana, berpendapat gugatan warga negara atas pencemaran udara Jakarta itu seharusnya dikabulkan. Ekspektasi kabulnya gugatan itu jika didasarkan pada kriteria hak atas lingkungan yang baik menurut pandangan David Boyd, UN Special Rapporteur on Human Rights and Environment, mengatakan terpenuhi atau tidaknya hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dapat dilihat dari aspek prosedural dan substantif.

Pada aspek prosedur, ada dua ukuran yang bisa dipergunakan yaitu terbukanya akses terhadap informasi lingkungan dan partisipasi publik dalam pembuatan keputusan mengenai lingkungan hidup. Pada aspek substantif perlu dilihat apakah negara telah atau belum membuat kebijakan atau langkah-langkah yang berkaitan dengan tugas hal. Pertama, melakukan monitor kualitas udara dan dampaknya terhadap kesehatan manusia. Kedua, mendata dan menilai sumber-sumber pencemaran udara.

Ketiga, menyediakan informasi dapat diakses publik termasuk nasihat kesehatan publik. Keempat, membuat peraturan, standar, dan kebijakan yang mendukung tercapainya kualitas udara yang baik. Kelima, membuat rencana aksi perbaikan kualitas udara pada level lokal dan nasional, dan jika perlu pada level regional. Keenam, mengimplementasikan rencana aksi tersebut dan menerapkan standar-standarnya. Ketujuh, melakukan evaluasi kemajuan dan jika perlu memperkuat rencana untuk memastikan standar kualitas udara tercapai.

Gugatan warga negara, menurut Prof. Andri Wibisana, memperlihatkan banyak hal yang belum dilakukan oleh pemerintah. Misalnya, rencana aksi kesehatan lingkungan, dan indeks pencemaran udara yang real time. Tuntutan penggugat, kata Andri, sesuatu yang wajar karena meminta pemerintah memperbaiki kualitas udara. “Harusnya sih menang,” ujarnya dalam diskusi publik “Menilik Gugatan Polusi Udara Jakarta: Udara Bersih, Apakah Cuma Mimpi?”, Sabtu (12/6/2021). (Baca Juga: Ada Peluang Mengatasi Kendala Eksekusi Pemulihan Lingkungan Hidup)

Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati menjelaskan gugatan itu dilayangkan karena kondisi pencemaran udara di Jakarta sudah sangat mengkhawatirkan. Jakarta termasuk kota dengan tingkat pencemaran udara tinggi, bahkan tertinggi dibandingkan ibukota negara-negara ASEAN sebagaimana dilansir World Air Quality Report 2018.

Tags:

Berita Terkait