Perlu Instrumen Hukum untuk Mencegah Praktik Pinjol Ilegal
Utama

Perlu Instrumen Hukum untuk Mencegah Praktik Pinjol Ilegal

Ada 7 hal yang perlu diperhatikan dalam praktik Pinjol, diantaranya melakukan pengecekan terlebih dahulu ke website OJK terkait data penyelenggara Pinjol legal, hingga tidak melakukan peminjaman baru untuk menutup pinjaman lama. Pemerintah pun diminta memberi informasi lengkap dan utuh terkait praktik Pinjol legal dan ilegal kepada masyarakat.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Sejumlah narasumber dalam seminar bertajuk 'Pinjaman Online Kebutuhan/Kejahatan?' sebagai salah satu rangkaian HUT KAI ke-13 di Solo, Sabtu (12/6/2021). Foto: RFQ
Sejumlah narasumber dalam seminar bertajuk 'Pinjaman Online Kebutuhan/Kejahatan?' sebagai salah satu rangkaian HUT KAI ke-13 di Solo, Sabtu (12/6/2021). Foto: RFQ

Hubungan pinjam-meminjam sah secara hukum sepanjang memenuhi persyaratan. Demikian pula pinjam-meminjam secara online (pinjol) melalui sarana teknologi hal wajar dalam perkembangan dunia digital. Tapi, kecenderungan praktik Pinjol menyimpang dari kaidah hukum pinjam-meminjam. Karena itu, pemerintah harus menyiapkan instrumen hukum untuk mencegah dan memberantas praktik kejahatan Pinjol ilegal yang marak akhir-akhir ini.

Demikian disampaikan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Mudzakir dalam seminar bertajuk “Pinjaman Online Kebutuhan/Kejahatan?” sebagai salah satu rangkaian Hari Ulang Tahun Kongres Advokat Indonesia (HUT KAI) ke-13 di Solo, Jawa Tengah, Sabtu (12/6/2021). “Apakah pemerintah sudah melayani kebutuhan rasa aman masyarakat dengan bertransaksi pinjaman online?” ujarnya mempertanyakan. (Baca Juga: KAI Siap Memberi Bantuan Advokasi bagi Korban Pinjol Ilegal)

Dia mengingatkan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk memberi informasi lengkap dan utuh terkait praktik Pinjol legal dan ilegal kepada masyarakat. Sebab, umumnya kecenderungan praktik Pinjol menyimpang dari kaidah hukum pinjam-meminjam, sehingga membutuhkan instrumen hukum untuk mencegah maraknya praktik Pinjol ilegal. Misalnya, dalam pinjam-meminjam harus memenuhi/memperhatikan aspek hukum tertulis (perjanjian utang-piutang, red), apakah Pinjol harus memenuhi syarat jaminan atau tidak, syarat tanda tangan sebagai tanda persetujuan para pihak.

“Pinjaman tanpa agunan atau jaminan bakal memunculkan persoalan, pinjaman online dilakukan tanpa tanda tangan. Sebab, praktiknya peminjam (debitur, red) cukup mengiyakan, persetujuan sudah diperoleh dari pemberi pinjaman (kreditur, red), sehingga aspek hukum Pinjol disingkirkan semua. Iming-iming kemudahan terus ditawarkan tanpa menjelaskan kewajiban-kewajiban peminjam,” kata Mudzakir.

Selain itu, setelah terjadi transaksi peminjam biasanya senang, tapi saat membayar angsuran, peminjam kelimpungan. Pelaku Pinjol ilegal pun melakukan wanprestasi yang dengan sengaja memunculkan tagihan sebelum jatuh tempo. Hal ini disertai ancaman secara sistematis. “Dia melakukan pelanggaran hukum perdata, diakhiri dengan tindak pidana,” ujarnya.

Menurutnya, tindak pidana dalam praktik Pinjol ilegal cukup banyak. Seperti penipuan oleh pemberi pinjaman, penggelapan, pemalsuan identitas, pemalsuan surat, pemerasan oleh debt colector, hingga pelanggaran transaksi elektronik. “Sebaiknya, pinjaman online harus teliti dan tidak tergiur dengan beragam tawaran yang menggiurkan.”

Kepala Departmen Penyelidikan Sektor Jasa Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Tongam Lumban Tobing berpandangan pelaku Pinjol tak bisa dipidana bila menggunakan UU terkait perbankan. Seperti, UU 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Tags:

Berita Terkait