R-KUHP dan Potensi Legitimasi Impunitas
Kolom

R-KUHP dan Potensi Legitimasi Impunitas

Dengan diaturnya delik pelanggaran berat terhadap HAM dalam KUHP baru, membuat pelaku semakin sulit untuk diadili.

Bacaan 5 Menit
Rozy Brilian Sodik. Foto: Istimewa
Rozy Brilian Sodik. Foto: Istimewa

Belakangan ini pemerintah lewat Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia (Kemenkumham RI) terlihat begitu sibuk melakukan sosialisasi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) kepada masyarakat luas. Nampaknya, mereka sudah tidak sabar memiliki produk perundang-undangan baru yang diklaim lebih sesuai dengan watak Bangsa Indonesia. Padahal, masih banyak lubang persoalan dalam R-KUHP yang perlu untuk diselesaikan. Belum lagi, secara formil proses penyusunan draf RUU ini juga tidak dibuat secara transparan dan partisipatif. Hal ini menjadi salah satu faktor penyebab bergolaknya perlawanan publik dalam tajuk aksi ‘Reformasi Dikorupsi’ pada September 2019 lalu.

Salah satu hal substansial dan menjadi sorotan dalam R-KUHP adalah diaturnya delik pelanggaran berat terhadap HAM. Tindak pidana tersebut diatur dalam ketentuan BAB XXXIV, pasal kejahatan genosida (genocide crime) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity), mulai pasal 598-599. Sebelumnya, pengaturan ini sudah dilakukan dalam UU No. 26 tahum 2000 tentang Pengadilan HAM. Adapun bunyi pasal dalam R-KUHP adalah sebagai berikut:

Pasal 598

Dipidana karena genosida Setiap Orang yang dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, atau agama, dengan cara:

  1. membunuh anggota kelompok;
  2. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental berat terhadap anggota kelompok;
  3. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang diperhitungkan akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik, baik seluruh maupun sebagian;
  4. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran dalam kelompok; atau
  5. memindahkan secara paksa Anak-Anak dari kelompok ke kelompok lain, dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Pasal 599

Dipidana karena Tindak Pidana terhadap kemanusiaan, Setiap Orang yang melakukan salah satu perbuatan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan terhadap penduduk sipil, berupa:

  1. pembunuhan, pemusnahan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain yang melanggar aturan dasar hukum internasional, atau kejahatan apartheid, dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun;
  2. perbudakan, penyiksaan, atau perbuatan tidak manusiawi lainnya yang sama sifatnya yang ditujukan untuk menimbulkan penderitaan yang berat atau luka yang serius pada tubuh atau kesehatan fisik dan mental, dengan pidana paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun;
  3. persekusi terhadap kelompok atau perkumpulan atas dasar politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau persekusi dengan alasan diskriminatif lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional, dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun; atau
  4. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan, atau sterilisasi secara paksa atau bentuk- bentuk Kekerasan seksual lain yang setara, atau penghilangan orang secara paksa dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Ketentuan pasal di atas cukup problematis karena tidak mengikuti prinsip yang telah digariskan hukum internasional. Perumusan kedua pasal tersebut melekatkan perbuatan kepada unsur setiap orang. Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 6 dan 7 Statuta Roma yang telah merumuskan bahwa kriminalisasi ditujukan pada perbuatannya. UU No. 26 Tahun 2000 pun sebenarnya sudah meregulasi secara baik dengan mengadopsi perumusan dalam Statuta Roma. Dengan berlakunya pasal ini tentu saja akan mengaburkan bentuk pertanggungjawaban komando. Orang-orang yang dikriminalisasi hanyalah pelaku lapangan yang biasa hanya menjalankan perintah atasan. Pengaturan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam R-KUHP tidak bisa dilepaskan dengan pengaturan lainnya, misalnya terkait dengan model pertanggungjawaban para pelakunya. Perumusan norma harus dilakukan secara spesifik sehingga dapat menjangkau intellectual dader.

Tags:

Berita Terkait