Peraturan Perundang-Undangan Tanpa Naskah Akademik, Bagaimana Keabsahannya?

Peraturan Perundang-Undangan Tanpa Naskah Akademik, Bagaimana Keabsahannya?

Undang-Undang tidak mengharuskan pembuatan Naskah Akademik untuk semua jenis peraturan perundang-undangan. Tetapi ada putusan MA yang menyatakan sebaliknya.
Peraturan Perundang-Undangan Tanpa Naskah Akademik, Bagaimana Keabsahannya?

Ketukan palu hakim pada 4 Mei 2021 lalu mengakhiri perjuangan berbulan-bulan para tokoh, aktivis, akademisi dan warga masyarakat mempersoalkan UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Dalam momentum itu, para hakim Mahkamah Konstitusi, dengan suara mayoritas, menolak pengujian formal dan material UU KPK. Para pemohon sangat berharap pada Mahkamah Konstitusi, meskipun akhirnya harapan itu antiklimaks.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 79/PUU-XVII/2019 itu menambah daftar penolakan atas permohonan uji formil. Selama ini belum pernah ada uji formal yang dikabulkan dan membawa konsekuensi batalnya suatu Undang-Undang. Padahal, uji formil merupakan salah satu sarana yang disediakan hukum untuk memohonkan pengujian suatu perundang-undangan ke lembaga yang berwenang. Salah satu amunisi dalam pengujian formil itu berkaitan dengan terpenuhinya Naskah Akademik (NA) atau tidak.

Mari ambil contoh pengujian UU KPK tadi. Para pemohon (Agus Rahardjo dkk) mendalilkan penyusunan UU No. 19 Tahun 2019 tidak didukung Naskah Akademik karena pembentuk Undang-Undang hanya sekadar mengganti sampul depan dari naskah akademik yang lama. Pemohon menyebut NA yang semacam itu adalah naskah akademik fiktif. Terhadap dalil itu, Mahkamah Konstitusi mengakui NA yang disampaikan pemohon dan NA yang disampaikan DPR sama isinya. Yang berbeda, NA yang diajukan DPR tak menyertakan sampul (cover) dan tak bertanggal; sedangkan pada NA yang diajukan pemohon ada tanda waktu, yakni September 2019. Meskipun demikian, Pemohon berpendapat NA yang disampaikan DPR dapat disebut fiktif. Sebab, secara leksikal, fiktif bermakna ‘hanya terdapat dalam khayalan’. Dengan demikian, bukti yang diajukan bukan bersifat fiktif. Memang benar antara waktu yang dicantumkan pada sampul tidak bersesuaian dengan tujuan atau penggunaan naskah akademik. Dengan pertimbangan itu, Mahkamah Konstitusi menyatakan dalil para pemohon yang menyatakan NA RUU tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 30 Tahun 2002 adalah fiktif tidak beralasan menurut hukum.

Mahkamah Konstitusi juga menegaskan konsekuensi lanjutan jika NA sudah ada, RUU tidak dibuat. Mahkamah hanya mengutip kembali rumusan Pasal 1 angka 11 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Di sini disebutkan Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu rancangan jenis peraturan perundang-undangan sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional