Mengenal Hibah-Hibah yang Dibatalkan Pengadilan dalam Praktik
Fokus

Mengenal Hibah-Hibah yang Dibatalkan Pengadilan dalam Praktik

Hibah merupakan salah satu bentuk pengalihan harta kepada orang lain. Penghibahan yang tak memenuhi ketentuan dapat dibatalkan hakim. Simak beberapa contoh putusannya.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 7 Menit
Sumber Ilustrasi: Shutterstock.com
Sumber Ilustrasi: Shutterstock.com

Artikel ini telah dipublikasikan sebelumnya di Premium Stories. Temukan ulasan pengadilan penting, isu dan tren hukum terkini lainnya hanya di Premium Stories. Berlangganan sekarang hanya Rp42rb/bulan dan nikmati sajian produk jurnalisme hukum terbaik tanpa gangguan iklan. Klik di sini untuk berlangganan.

Hibah adalah suatu perbuatan yang sering menimbulkan persoalan hukum. Pengaturannya pun tak hanya satu: selain dalam KUH Perdata, hibah diatur dalam hukum Islam (Kompilasi Hukum Islam). Ini juga tercermin dari adanya perkara perdata umum dan perdata agama berkaitan dengan hibah.

Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2020 mencatat ada 154 beban perkara hibah yang ditangani Pengadilan Agama di seluruh Indonesia, akumulasi perkara tahun 2019 yang belum diputus dan perkara masuk tahun berikutnya. Dilihat dari jumlah dan jenis perkara, hibah menempati posisi ke-10 dari 22 item perkara yang ditangani lingkungan Peradilan Agama. Pada tahun yang sama Mahkamah Agung menangani 23 perkara hibah di tingkat kasasi.

Beberapa kamus hukum mendefinisikan hibah sebagai pemberian sesuatu barang tertentu secara sukarela dengan mengalihkan hak atas barang tersebut kepada orang lain (Sudarsono, 2009: 164); pemberian (Setiawan Widagdo, 2012: 203); atau, suatu persetujuan dengan mana seseorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma tanpa menariknya kembali untuk kepentingan seseorang menerima barang itu (Citra Umbara, 2011: 141).

Secara etimologis, hibah berasal dari kata ‘hubuubur riih’, nuruuruha, yang bermakna perjalanan angin. Dalam perkembangannya, dipakai istilah hibah dengan maksud memberikan kepada orang lain baik berupa harta maupun selain itu. Di dalam syariat Islam, hibah berarti akad yang pokoknya adalah pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu ia masih hidup tanpa adanya imbalan apapun (Abdul Manan, 2006: 131).

Dalam Burgerlijk Wetboek (KUH Perdata), hibah merujuk pada aturan tentang schenking. Subekti, dalam bukunya ‘Pokok-Pokok Hukum Perdata’ memasukkan schenking sebagai salah satu perjanjian khusus yang penting. Merujuk Pasal 1666 KUH Perdata, Subekti menulis bahwa schenking ialah suatu perjanjian (obligatoir) dimana pihak yang satu menyanggupi dengan cuma-cuma (om niet) dengan secara mutlak (onherroepelijk) memberikan suatu benda kepada pihak yang lainnya, pihak mana menerima pemberian itu. Sebagai suatu perjanjian, schenking itu seketika mengikat dan tak dapat ia cabut kembali begitu menurut kehendak satu pihak. Hibah dalam pengertian ini berbeda dari hibah wasiat atau pemberian dalam suatu testamen. Yang terakhir ini baru memperoleh kekuatan mutlak apabila orang yang memberikan benda sudah meninggal (1996: 165).

Dalam perkembangannya, istilah ‘hibah’ tak hanya dikenal dalam KUH Perdata atau Kompilasi Hukum Islam. Dalam konteks keuangan negara, istilah ini juga dipakai sehingga muncul istilah hibah daerah, hibah luar negeri, dan hibah pemerintah. Sekadar contoh adalah Peraturan Menteri Keuangan No. 224/PMK.07/2017 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Hibah dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Di sini disebutkan bahwa hibah adalah pemberian dengan pengalihan hak atas sesuatu dari pemerintah kepada pemerintah daerah yang secara spesifik ditetapkan peruntukannya dan dilakukan melalui perjanjian.

Halaman Selanjutnya:
Tags: