Problematika Perkawinan Anak di Indonesia
Kolom

Problematika Perkawinan Anak di Indonesia

Tidak sesederhana karena hamil duluan.

Bacaan 4 Menit
Laras Susanti. Foto: Istimewa
Laras Susanti. Foto: Istimewa

Perkawinan anak jadi problem krusial di Indonesia. Negara ini menempati posisi tertinggi kedelapan di dunia untuk jumlah perkawinan anak (UNICEF). Data Susenas 2018 menunjukkan satu dari sembilan perempuan berusia 20-24 tahun sudah menikah sebelum 18 tahun (BPS, 2018).

Pandemi COVID-19 memparah kondisi tersebut. Di tahun 2020, tercatat perkawinan anak meningkat 300 persen (Komnas Perempuan, 2020). Presentase yang berasal dari peningkatan jumlah permohonan dispensasi kawin di pengadilan. Diperkirakan dampak pandemi terhadap perekonomian akan terus mendorong naiknya angka perkawinan anak sampai sepuluh tahun ke depan (UNICEF 2020).

Data tersebut menggambarkan gentingnya situasi perkawinan anak di Indonesia. Masyarakat mendapat informasi tentang situasi yang mengkhawatirkan ini. Namun, saya menemukan praktik media kebanyakan membingkai perkawinan anak secara tidak utuh yang justru mensimplifikasi perkawinan anak sebagai kesalahan anak terlibat pergaulan bebas.

Pada pertengahan Juni 2020, pemberitaan fokus pada alasan hamil di luar nikah sebagai alasan menikah anak. Penggunaan istilah ‘hamil duluan’ atau ‘accident’ digunakan dalam sejumlah pemberitaan. Di media sosial, pemberitaan tersebut menyulut diskusi warganet. Tanggapan beragam diberikan. Yang memprihatinkan adalah pandangan bahwa perkawinan adalah problem individu anak terjerat seks pranikah. Padahal, ada situasi yang amat kompleks di balik fenomena tersebut.

Konflik Nilai yang Dialami Anak

Hoko Horii (2018) memberi gambaran bagaimana perkawinan anak di Indonesia sangat kompleks. Selain soal dorongan kemiskinan, keyakinan terhadap ajaran agama, persepsi lokal tentang usia menikah, jalan keluar atas perceraian orang tua, dapat juga karena suka sama suka. Salah satu alasan mendasar perkawinan anak adalah stigma sosial yang melekat pada seks pranikah. Di sejumlah kasus, remaja memilih perkawinan untuk menghindari stigma dan memperoleh otonomi atas kehidupan seksualnya. Mereka mengalami konflik nilai moral yang didapat dari promosi pendidikan barat, media dan teman sebaya dengan nilai-nilai religius yang mengakar di sekolah, komunitas, dan negara.

Temuan Horii tersebut sejalan dengan hasil studi atas 61 dispensasi nikah yang diputus oleh pengadilan negeri dan agama di tahun 2008-2017. Alasan utama orang tua mengajukan dispensasi adalah menghindari anak terjerat seks pranikah. Anak tidak menolak dinikahkan. Pada kondisi hamil di luar nikah, perkawinan adalah jalan keluar satu-satunya untuk menghindari anak yang dikandung terlahir di luar perkawinan (Dokumentasi Mata Kuliah Putusan Pengadilan di Fakultas Hukum, UGM, 2018).

Konflik nilai yang dialami anak menjadi situasi yang tak terhindarkan. Pilihan anak untuk menikah tidak dapat dianggap sebagai kehendak bebas. Konstruksi sosial amat berpengaruh. Tak hanya konstruksi sosial, anak juga berhadapan dengan situasi keluarga yang beragam.

Tags:

Berita Terkait