Alasan PSHK Desak Pemerintah Cabut Permenkes Vaksinasi Berbayar
Terbaru

Alasan PSHK Desak Pemerintah Cabut Permenkes Vaksinasi Berbayar

DPR juga harus menggunakan fungsi pengawasannya untuk mengevaluasi kebijakan vaksinasi berbayar serta mendesak Presiden untuk memerintahkan Menteri Kesehatan membatalkan Permenkes 19/2021 sebelum dilaksanakan di lapangan.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 5 Menit
Vaksinasi Covid-19. Foto: RES
Vaksinasi Covid-19. Foto: RES

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 19 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Permenkes No.10 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19. Permenkes yang diteken Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pada 5 Juli 2021 ini mengatur Vaksinasi Gotong Royong (VGR) untuk Covid-19 dapat diakses individu secara berbayar mulai Senin 12 Juli 2021 melalui PT Kimia Farma Tbk.

Vaksin yang digunakan adalah vaksin Sinopharm melalui penunjukan PT Bio Farma (Persero) yang total harganya dipatok sebesar Rp Rp879.140 per orang (dua kali dosis/suntikan) sesuai Kepmenkes No.HK01.07/MENKES/4643/2021. Hal ini dimungkinkan setelah Kemenkes memperluas definisi VGR melalui Permenkes 19/2021. Awalnya, hanya untuk karyawan/karyawati dan keluarganya yang ditanggung badan usaha, kini VGR dapat juga diakses individu/perorangan secara berbayar.

“Meskipun terdengar seperti kabar baik, pelaksanaan vaksinasi berbayar untuk individu ini tindakan yang tidak sensitif terhadap situasi genting di tengah penyebaran Covid-19 yang tak terkendali saat ini serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,” ujar Direktur Pengembangan Organisasi dan Sumber Daya Penelitian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Rizki Argama kepada Hukumonline, Minggu (11/7/2021) malam. (Baca Juga: Sejumlah Alasan Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Vaksinasi Mandiri)

PSHK memberi sejumlah catatan yang mengandung persoalan terkait rencana VGR individu ini. Pertama, perubahan definisi VGR dilakukan tanpa proses yang transparan dan partisipatif. Sebelumnya, Pasal 1 angka 5 Permenkes 10/2021 dan perubahannya (Permenkes 18/2021) mendefinisikan VGR sebagai pelaksanaan vaksinasi kepada karyawan dan keluarganya yang pendanaannya dibebankan kepada badan hukum/badan usaha. Namun, Permenkes 19/2021, pada pasal yang sama, memperluas definisi itu dengan memasukkan individu sebagai penerima VGR yang pendanaannya dibebankan kepada individu yang bersangkutan.

Pria yang akrab disapa Gama ini menilai perubahan definisi tersebut bertentangan dengan sikap kritis masyarakat sejak awal 2021 yang menolak skema vaksinasi berbayar. Selain itu, proses perubahan Permenkes tanpa sepengetahuan masyarakat sebagai pemangku kepentingan juga diindikasikan bertentangan dengan Pasal 24 ayat (2) Permenkes 1/2020 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Bidang Kesehatan di Lingkungan Kementerian Kesehatan.

“Pasal itu mewajibkan dilakukannya uji kelayakan (publik) dalam proses penyusunan rancangan Permenkes. Sulit bagi publik mempercayai Permenkes 19/2021 telah memenuhi aspek transparansi dan partisipatif mengingat para epidemiolog dan praktisi kesehatan justru banyak yang menolak skema vaksinasi berbayar,” ujarnya.

Kedua, kebijakan vaksinasi berbayar ditetapkan tanpa proses sosialisasi yang layak. Naskah Permenkes 19/2021 baru tersedia di situs web Satgas Penanganan Covid-19 pada Minggu, 11 Juli 2021, sore hari. Sebelumnya, naskah tersebut hanya beredar melalui jalur tidak resmi pesan berantai dan hingga kini masih belum tersedia pada direktori regulasi pada situs web Kementerian Kesehatan.

Tags:

Berita Terkait