Problematika Pasal 281-282 RUU KUHP: Kemandirian dan Kebebasan Advokat
Kolom

Problematika Pasal 281-282 RUU KUHP: Kemandirian dan Kebebasan Advokat

Secara keseluruhan keberadaan Pasal 281 dan Pasal 282 RUU KUHP tersebut perlu ditinjau ulang oleh para pembuat undang-undang dengan melibatkan partisipasi organisasi advokat.

Bacaan 7 Menit
Agung Hermansyah. Foto: Istimewa
Agung Hermansyah. Foto: Istimewa

Sebagai advokat, tentunya "ngeri-ngeri sedap"’ ketika membaca beberapa rumusan delik Pasal RUU KUHP yang secara langsung memiliki korelasi dengan pelaksanaan tupoksi advokat. Apalagi ketentuan Pasal-Pasal RUU KUHP di bawah bab yang berjudul "Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan"’ mengandung multitafsir dan ditenggarai dapat mengkriminalisasi advokat dalam menjalankan tupoksi dalam due process of law.

Menanggapi munculnya Pasal 281 dan 282 dalam RUU KUHP tersebut, Pengacara Publik LBH Jakarta, Teo Reffelsen, mengatakan pasal tersebut sangat multitafsir dan berpotensi mengkriminalisasi profesi advokat. Tak hanya itu, kata dia, tujuan dari Pasal tersebut juga tidak jelas, terlebih Advokat dalam menjalankan kewajibannya sudah tunduk pada UU Advokat, sehingga tidak perlu lagi diatur dalam RUU KUHP.

Apabila disigi dari sisi teori hukum pembangunan, bahwa hukum berfungsi mengubah pandangan masyarakat agar lebih baik dari keadaan sebelumnya. Maka ketentuan Pasal-Pasal 281 dan Pasal 282 RUU KUHP tersebut adalah suatu kemunduran bagi penegakkan hukum di Indonesia. Karena ketentuan pasal a quo menciderai rasa keadilan para pencari keadilan (justiciabelen) dan mengekang kemandirian advokat sebagai salah satu aktor penegakkan hukum di Indonesia. Sehingga tepatlah apa yang dikatakan oleh Shakespeare, Sastrawan Inggris, "kalau ingin mendirikan negara diktator dan ingin menghapuskan persamaan hak asasi manusia, maka bunuhlah lebih dahulu para advokat, lets kill all the lawyer".

DPN Peradi RBA lewat SK No.066/SK-DPN-PERADI/VI/2021 juga ikut memberikan tanggapan terhadap Pasal 281-Pasal 284 RUU KUHP kepada Wakil Menteri Hukum dan HAM, Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hariej, sebaiknya dihapus dan tidak diperlukan ada secara khusus, karena ketentuan dalam KUHAP, UU Kekuasaan Kehakiman, UU Peradilan, UU Advokat, subtansi larangan atas perbuatan tindak pidana terhadap proses peradilan sudah lebih dari cukup.

Catatan Kritis

Sejumlah catatan kritis terkait ketentuan Pasal 281-284 RUU KUHP. Pertama, ketentuan Pasal 281 RUU KUHP dengan bunyi sebagai berikut: Dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak kategori II, Setiap orang yang:

  1. Tidak mematuhi perintah pengadilan atau penetapan hakim yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan;
  2. Bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan;
  3. Secara melawan hukum merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.

Ketentuan Pasal 281 huruf a dan huruf b, mengandung rumusan yang bersifat vague-outline (kabur penggarisan dan standarnya) dan "sapu jagat"’. Sehinga rumusan Pasal a quo penuh dengan ketidakpastian (uncertainty). Sebagai contoh, perdebatan sengit antara Hakim Konstitusi, Arief Hidayat dengan Bambang Widjojanto sebagai kuasa hukum pemohon pada sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden (PHPU-P) 2019 di Mahkamah Konstitusi ketika yang berujung ancaman pengusiran keluar sidang oleh Hakim Konstitusi, Arief Hidayat kepada Bambang Widjojanto. Dan Bambang Widjojanto menolak perintah tersebut karena merasa saksi pemohon ditekan terus oleh Hakim Konstitusi, Arief Hidayat. Apakah sikap tersebut dapat dikatakan melawan "perintah/penetapan pengadilan" atau "tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan"?

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait