6 Poin Penting Pedoman Penuntutan Perkara Narkotika
Utama

6 Poin Penting Pedoman Penuntutan Perkara Narkotika

Pedoman 11/2021 ini menjadi pagar dan rambu-rambu bagi penuntut umum dalam memberikan tuntutan terhadap pelaku penyalahguna, pecandu, hingga pengedar narkotika.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Suasana webinar bertajuk 'Kajian Kritis Pedoman Penuntutan Nomor 11 Tahun 2021', Jumat (6/8/2021). Foto: RFQ
Suasana webinar bertajuk 'Kajian Kritis Pedoman Penuntutan Nomor 11 Tahun 2021', Jumat (6/8/2021). Foto: RFQ

Kelemahan berlakunya UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika berimbas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan (Rutan) didominasi narapidana kasus-kasus narkotika, khususnya para pengguna narkoba yang divonis hukuman penjara. Persoalan ini pula yang mengakibatkan persoalan over kapasitas Lapas dan Rutan selama ini sulit diatasi. Atas dasar itu, belum lama ini Jaksa Agung Burhanuddin menerbitkan Pedoman No.11 Tahun 2021 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika dan/atau Tindak Pidana Prekursor Narkotika pada 19 Juli 2021.  

Jaksa Bidang Pidana Umum Kejaksaan Agung (Pidum Kejagung) Erni Mustikasari mengatakan salah satu tujuan terbitnya Pedoman No.11 Tahun 2021 itu untuk mengatasi persoalan disparitas dalam fakta hukum yang sama dari tuntutan tindak pidana narkotika; bagaimana mengatasi persoalan besaran ancaman pidana dalam UU 35/2009 yang beririsan antara barang bukti sedikit, tapi tak ada bedanya dengan barang bukti banyak. Akibatnya, hal ini tidak memberi rasa keadilan. Selain itu, memperbaiki Surat Edaran Jaksa Agung (SE)-013/A/JA/12//2011 tentang Pedoman Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum.

Dalam Pedoman 11 Tahun 2021 ini mengatur beberapa hal. Pertama, barang bukti tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana prekursor narkotika. Dalam menghitung jumlah barang bukti narkotika digunakan standar satuan berat. Begitu pula menghitung barang bukti narkotika bukan tanaman (narkotika sintetis). Seperti tembakau gorila dikenakan ketentuan pidana narkotika bukan tanaman. Baginya, mengatasi mobilitas barang bukti narkotika dan/atau prekursor narkotika (bahan baku pembuatan narkotika/psikotropika) yang tinggi, kata “setempat” dalam Pasal 38 KUHAP bersifat mutitafsir.  

Pasal 38 ayat (1) KUHAP menyebutkan “Penyitaan barang bukti hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat”. Menurutnya, kata “setempat” dalam Pasal 38 ayat (1) KUHAP ini diartikan bagi benda bergerak dan surat izin penyitaan diterbitkan oleh Ketua Pengadilan Negeri (KPN) di wilayah hukum sesuai kompetensi relatif yang berwenang memeriksa dan mengadili perkaranya. Sedangkan benda tindak bergerak, surat izin penyitaan diterbitkan oleh KPN di tempat benda yang disita itu berada.

Kedua, kualifikasi tersangka. Berdasarkan hasil asesmen terpadu, tersangka termasuk dalam kualifikasi sebagai penyalahguna narkotika bisa dijerat Pasal 127 UU 35/2009. Sementara dalam hal tersangka hasil asesmen terpadu direkomendasikan agar direhabilitasi, penuntut umum mempertimbangkannya dalam requisitornya (surat tuntutan pidana, red) dengan catatan penuntut umum memperhatikan fakta persidangan berdasarkan pemeriksaan alat bukti.

“Ketentuan tuntutan pidana bagi penyalahguna narkotika diatur dalam Pedoman ini,” ujar Erni Mustika dalam webinar bertajuk “Kajian Kritis Pedoman Penuntutan Nomor 11 Tahun 2021”, Jumat (6/8/2021).

Ketiga, kualifikasi tindak pidana kesesuaian dengan pasal yang disangkakan. Seperti permufakatan jahat dalam melakukan kejahatan narkotika dan/atau tindakan pidana prekursor narkotika (Pasal 132 ayat (1) UU 35/2009, red). Kemudian, penyertaan melakukan pidana narkotika dan/atau tindak pidana prekursor narkotika. Begitu pula tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana prekursor narkotika yang dilakukan secara terorganisasi (Pasal 132 ayat (2) UU 35/2009, red).

Tags:

Berita Terkait