Dekan FH Universitas Brawijaya: Kritik Tidak Boleh Dimaknai Mengganggu Pemerintahan
Profil

Dekan FH Universitas Brawijaya: Kritik Tidak Boleh Dimaknai Mengganggu Pemerintahan

Kritik bagian dari demokrasi dan pengakuan terhadap HAM terkait kebebasan berpendapat dan partisipasi masyarakat atas jalannya roda pemerintahan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Dekan FH Universitas Brawijaya Muchammad Ali Safaat dalam Hukumonline Academy XI bertajuk 'Demokrasi di Tengah Pandemi', Jumat (13/8/2021). Foto: RES
Dekan FH Universitas Brawijaya Muchammad Ali Safaat dalam Hukumonline Academy XI bertajuk 'Demokrasi di Tengah Pandemi', Jumat (13/8/2021). Foto: RES

Negara yang menganut sistem demokrasi membuka ruang yang besar bagi publik untuk berpartisipasi dan turut serta mengawasi jalannya pemerintahan. Mengawasi jalannya pemerintahan itu dapat dilakukan berbagai elemen masyarakat, antara lain dengan kritik melalui saluran yang tersedia.    

Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Muchammad Ali Safa’at, mengatakan penyampaian kritik merupakan hal yang wajar dalam sebuah negara demokrasi. Kritik sebagai alat evaluasi kebijakan yang sudah dilakukan atau akan dilakukan pemerintah terutama saat menghadapi pandemi.

“Kritik tidak boleh dimaknai merongrong atau mengganggu pemerintahan. Kritik bagian inti demokrasi yang memberi pengakuan terhadap HAM terkait kebebasan berpendapat dan partisipasi masyarakat,” kata Ali dalam acara Hukumonline Academy XI bertajuk “Demokrasi di Tengah Pandemi”, Jumat (13/8/2021). (Baca Juga: Revisi UU ITE Cara Menjaga Keberlangsungan Demokrasi)

Dia mengingatkan justru pemerintah wajib melindungi dan menghormati masyarakat yang menyampaikan kritik. Kritik tidak boleh direspon dengan tindakan represif, termasuk pada saat menghadapi pandemi Covid-19 saat ini. Ali melihat tindakan represif yang mungkin dialami pihak yang menyampaikan kritik, seperti dilaporkan dugaan tindak pidana, atau meretas akun media sosial yang bersangkutan.

“Umumnya kritik ditujukan kepada kebijakan dan tindakan pejabat publik,” kata Ali.   

Menurut Ali, pejabat publik semestinya sudah mengetahui konsekuensi mengemban jabatan yang diampunya sebagai pejabat publik. Publik pun punya hak untuk memberi masukan tentang apa yang seharusnya dilakukan pejabat publik. “Kritik harus diposisikan sebagai hak warga negara. Kewajiban negara itu melindunginya, bukan mematikan kritik,” tegasnya.

Tindakan balasan yang dilakukan terhadap pihak yang melayangkan kritik biasanya melaporkan pihak yang mengkritik ke pihak kepolisian. Menurut Ali, hal tersebut merupakan upaya yang dilakukan untuk “memberi pelajaran”, sehingga orang merasa ketakutan untuk menyampaikan kritik.

Padahal, Ali menilai ketika masyarakat takut untuk mengkritik justru yang dirugikan adalah pemerintah dan masyarakat sendiri karena tidak dapat menikmati kebijakan yang baik dan teruji argumentasinya dari beragam sudut pandang.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait