​​​​​​​Mr. Johannes Latuharhary, Memilih Mundur dari Hakim Demi Gerakan Anti-Kolonial
Tokoh Hukum Kemerdekaan

​​​​​​​Mr. Johannes Latuharhary, Memilih Mundur dari Hakim Demi Gerakan Anti-Kolonial

Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI mencatat Johannes Latuharhary termasuk satu dari 31 tokoh nasional yang hadir saat proklamasi ditandatangani Soekarno dan Hatta.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 7 Menit
Johannes Latuharhary. Ilustrasi: BAS
Johannes Latuharhary. Ilustrasi: BAS

Berkat beasiswa dari dana amal Ambonsch Studifonds, Johannes Latuharhary dapat melanjutkan pendidikannya ke Leiden, Belanda setelah lulus dari Hogere Burgerschool di Batavia. Pada 1927, ia menyelesaikan studi ilmu hukumnya di Universitas Leiden. Meskipun tidak tercatat menjadi anggota resmi, Latuharhary banyak bergaul dengan pengurus dan anggota Perhimpunan Indonesia di Belanda seperti Ali Sastroamidjojo dan Iwa Kusumasumantri.

Setelah lulus dan memperoleh gelar Meester in de Rechten, Latuharhary kembali ke Indonesia. Awalnya Latuharhary menjadi asisten hakim di Raad van Justitie Surabaya berbekal rekomendasi dosennya di Leiden, Cornelis van Vollenhoven. Pada 1929, Latuharhary dianggap menjadi hakim penuh di Surabaya, sebelum kemudian dipindahkan menjadi memimpin pengadilan di Kraksaan.

Seraya bekerja sebagai hakim, Latuharhary bergabung dengan organisasi pemuda asal Maluku bernama Serikat Ambon (SA). Di organisasi ini, ia menjadi pemimpin Redaksi surat kabar yang diterbitkan SA: Haloean. Lewat SA, Latuharhary menjalankan politik antikolonial. Dalam pidatonya di depan peserta Kongres Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), Januari 1932, Latuharhary mengecam penjajahan dalam bidang ekonomi di Maluku yang mula-mula dilakukan VOC, kemudian dilanjutkan oleh Belanda. Cetakan pidatonya, berjudul Azab Sengsara Kepoelaoean Maloekoe, dilarang beredar. Bahkan akibat aktivitas politiknya, Latuharhary ditegur Belanda dan diberikan dua pilihan: mundur sebagai hakim kalau mau aktif di gerakan politik, atau, boleh tetap menjadi hakim asalkan berhenti ikut pergerakan nasional. Latuharhary memilih mundur sebagai hakim.

“Putusan yang diambil ini sangat berat bagi keuangan kami. Nani mulai bekerja dengan gaji lima ratus gulden. Sebagai Ketua Pengadilan Negeri gajinya tujuh ratus lima puluh gulden. Suatu jumlah yang besar pada waktu itu. Lebih besar dari gaji kebanyakan orang Belanda. Tetapi sebagian besar habis untuk keperluan organisasi SA dengan Haloeannya dan donasi Ambonsch Studiefonds. Jadi ketika Nani minta berhenti kami tidak mempunyai sesen. Dan kami yang pertama, Mansje, baru saja lahir. Lalu Nani memutuskan untuk menjadi advokat”. Begitulah pernyataan Henriette (Yet) Pattirajawane, istri Latuharhary, sebagaimana diceritakan dalam buku biografi Mr Johanes Latuharhary, Karya dan Pengabdiannya yang ditulis I.O. Nanulaitta (2009).

Setelah permohonannya mundur sebagai hakim diterima, Latuharhary beralih profesi menjadi advokat. Namun pengadilan tidak serta merta menerimanya. Dibantu oleh dua orang kenalannya, Latuharhary menangani sejumlah petani dan pemilik tanah yang dirugikan pengusaha pabrik gula di wilayah Kraksan, Probolinggo, Situbondo dan Jember. Perjuangannya membela rakyat kecil membawa hasil, ia makin dikenal di hingga terpilih sebagai Regentschapsraad (semacam DPRD Kabupaten) Kraksan. Pada 1934, Latuharhary dan keluarganya pindah ke Malang. Dalam pemilihan untuk Provinciale Raad (DPRD Provinsi) Jawa Timur, Latuharhary terpilih dan memasuki fraksi nasional. Posisi ini bertahan hingga 1942.

Hukumonline.com

Johannes Latuharhary. Ilustrasi: BAS

Pada Agustus 1945, terbentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang anggotanya terdiri dari tokoh-tokoh nasional, ditambah representasi daerah. Latuharhary mewakili Maluku. Sebelumnya, ia juga menjadi anggota BPUPKI dan ikut memberikan sumbangan pemikiran mengenai UUD 1945. Dalam rapat panitia hukum dasar BPUPKI pada 11 Juni 1945, Latuharhary menyampaikan keberatannya pada preambule yang memuat kalimat “dengan menjalankan syariat Islam kepada pemeluk-pemeluknya”.

Ia menilai kalimat itu membawa implikasi pada kehidupan masyarakat Indonesia yang heterogen di kemudian hari. “Akibatnya akan besar sekali. Umpamanya terhadap agama lain. Maka dari itu saya harap supaya dalam hukum dasar, meskipun ini berlaku buat sementara waktu, dalam hal ini tidak boleh diadakan benih-benih atau kemungkinan yang dapat diartikan dalam rupa-rupa macam”. Ia melanjutkan: “kalimat semacam itu dapat menyebabkan kekacauan yang bukan kecil terhadap pada adat istiadat. Oleh sebab itu, baiklah kita mencari modus lain yang tidaqk membawa akibat yang bisa mengacaukan rakyat”. Para tokoh bangsa memperdebatan mengenai hal ini, dan akhirnya berhasil diselesaikan.

Tags:

Berita Terkait