Perihal Keputusan Fiktif (Yang Belum) Positif
Kolom

Perihal Keputusan Fiktif (Yang Belum) Positif

Pemerintah harus segera menerbitkan Perpres Fiktif Positif.

Bacaan 8 Menit
Kolase Rabbenstain Izroiel (kiri) dan Sudarsono (kanan).
Kolase Rabbenstain Izroiel (kiri) dan Sudarsono (kanan).

Salah satu buah dari perubahan paradigma pemerintahan pasca Reformasi adalah keharusan responsibilitas Badan/Pejabat Pemerintahan terhadap permohonan warga masyarakat yang meminta keputusan/tindakan pemerintahan. Respon tersebut adalah keharusan menjawab permohonan warga masyarakat, baik berupa mengabulkan permohonan ataupun menolaknya jika tidak memenuhi syarat yang ditentukan.

Pejabat pemerintahan tidak boleh mendiamkan/mengabaikan permohonan warganya. Jika ternyata dalam 10 hari kerja si pejabat belum menjawab permohonan, maka si pejabat tersebut dianggap telah menerbitkan keputusan berupa mengabulkan permohonan. Inilah yang dimaksud dengan “Keputusan Fiktif Positif” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP).

Selanjutnya, untuk mendapatkan keputusan yang dianggap dikabulkan tersebut, berdasarkan Pasal 53 ayat (4), (5) dan (6) UUAP sebelum diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK), pemohon harus mengajukan permohonan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) agar memerintahkan si pejabat untuk menerbitkan Keputusan Fiktif Positif yang dimohonkan tersebut.

Pada 2 November 2020, UUCK diundangkan, yang antara lain mengubah prosedur penerbitan Keputusan Fiktif Positif dalam Pasal 53 UUAP. Jika sebelumnya, terhadap Keputusan Fiktif Positif yang tidak ditindaklanjuti secara sukarela oleh pejabat, masyarakat dapat mengajukan permohonan ke PTUN agar memerintahkan si pejabat menerbitkan keputusan yang dimohonkan; maka sesudah diundangkannya UUCK, si pejabat wajib secara langsung menerbitkan Keputusan Fiktif Positif yang dimohonkan tersebut tanpa perlu menunggu Putusan PTUN. Prosedur penerbitan dan bentuk Keputusan Fiktif Positif oleh pejabat pemerintahan pasca UUAP tersebut akan diatur dalam Peraturan Presiden (Pasal 175 UUCK).

Masalahnya, meski Pasal 185 UUCK telah menentukan bahwa peraturan pelaksana dari UUCK harus sudah diterbitkan paling lama tiga bulan sejak diundangkannya UUCK, hingga saat ini Perpres yang mengatur Fiktif Positif belum juga diterbitkan. Belum diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) tersebut mengakibatkan ketidakjelasan nasib permohonan masyarakat yang diajukan kepada Badan/Pejabat Pemerintahan. Meski UUCK telah menyatakan penerbitan Keputusan Fiktif Positif tersebut adalah kewajiban pejabat pemerintahan tanpa perlu lagi menunggu Putusan PTUN, namun pejabat pemerintahan sendiri belum mengetahui bagaimana bentuk dan prosedur penerbitan Keputusan Fiktif Positif sebagaimana dimaksud Perpres yang semestinya telah diterbitkan beberapa bulan silam.

Untuk memecahkan kebuntuan tersebut, sebagian masyarakat tetap mengajukan gugatan di PTUN. Sampai pada titik ini, terdapat beberapa pendapat berbeda di kalangan pengemban hukum, baik pengemban hukum teoritikal maupun praktikal, terkait pemeriksaan perkara Permohonan Fiktif Positif di PTUN. Beberapa pendapat tersebut antara lain: (1) PTUN tidak berwenang lagi, karena kewenangan PTUN sudah dihapus oleh UUCK; (2) Permohonan Fiktif Negatif sebagaimana Pasal 3 UU PTUN (yang memang belum pernah dicabut) dapat diberlakukan kembali, sehingga masyarakat dapat mengajukan gugatan Fiktif Negatif ke PTUN; (3) PTUN masih berwenang untuk sementara hingga diterbitkannya Perpres Fiktif Positif; atau (4) masyarakat dapat mengajukan gugatan Tindakan Pemerintahan, mengingat tindakan si Pejabat yang mendiamkan/mengabaikan Permohonan warga masyarakat.

Sebagai wacana, keragaman pendapat tersebut baik guna menajamkan isu hukum terkait Fiktif Positif. Namun, keragaman tersebut juga dapat menghadirkan ketidaksatuan hukum. Mengingat hingga saat ini belum ada tanda kejelasan perihal penerbitan Peraturan Presiden yang mengatur Fiktif Positif, perlu dilakukan kajian hukum perihal: (1) konsep Keputusan Fiktif Positif pasca UUCK; dan (2) kewenangan PTUN dalam mengadili Permohonan Fiktif Positif. Dengan mengkaji kedua hal tersebut, diharapkan akan terjawab problema terkait Keputusan Fiktif Positif, atau minimal dapat memetakan permasalahan seputar Keputusan Fiktif Positif untuk diambil preskripsi terbaik.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait