Membangun Kepedulian Mengatasi Kekerasan Berbasis Gender Online
Terbaru

Membangun Kepedulian Mengatasi Kekerasan Berbasis Gender Online

Mulai mendorong regulasi yang berpihak terhadap perempuan, hingga membiasakan tradisi digital citizenship. Pasca pandemi, penggunaan teknologi bakal jauh lebih masif, sehingga kejahatan KBGO diperkirakan bakal semakin meningkat, sehingga dibutuhkan instrumen pencehanan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati dalam webinar peluncuran buku 'Cedera Dunia Maya: Cerita Para Penyintas' secara daring, Rabu (25/8/2021). Foto: RFQ
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati dalam webinar peluncuran buku 'Cedera Dunia Maya: Cerita Para Penyintas' secara daring, Rabu (25/8/2021). Foto: RFQ

Kasus kekerasan berbasis gender online (KGBO) terhadap perempuan di masa pandemi Covid-19 mengalami peningkatan. Data Komisi Nasional (Komnas) Perempuan periode 2019 mencatat terdapat 241 kasus. Sementara periode 2020 mengalami peningkatan menjadi 940 kasus. Kasus KGBO tak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di banyak negara. Untuk itu, perlu membangun kepedulian semua pihak untuk mengatasi kejahatan KGBO terhadap perempuan yang jumlah terus meningkat.

“Saya mohon dukungan seluruh pihak untuk memperkuat perjuangan menghentikan KGBO. Negara tidak akan berhenti berkembang, kitalah yang harus beradaptasi melindungi perempuan di ruang fisik ataupun digital,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati dalam webinar peluncuran buku Cedera Dunia Maya: Cerita Para Penyintas secara daring, Rabu (25/8/2021).

Gusti Ayu menuturkan para korban tak kurang dari 40 persen mencari pertolongan ke pihak keluarga atau sarana lainnya. Persoalannnya, pelaporan kekerasan seksual terhadap perempuan tak hanya berbasis fisik, tapi juga online. Sayangnya banyak penyintas yang tak melaporkan insiden yang dialaminya. Maraknya KGBO telah diprediksi seiring masifnya penggunaan teknologi dan informasi atau media sosial. Hal ini belum dibarengi dengan literasi yang cukup bagi kalangan perempuan. Terlebih, budaya patriarki yang mengakar, sehingga perempuan tak memiliki akses luas di dunia maya.

Dia menegaskan pemerintah amat serius dalam penanganan kekerasan perempuan dan anak sebagai prioritas kerja kementerian yang dipimpinnya. Tapi, kementeriannya tak dapat bekerja sendiri. Dia melihat KGBO menjadi tantangan sendiri lantaran pelaku berlindung di balik anonimitas dan pelaku berada di dunia lain. Selain itu, hal-hal yang telah diunggah di dunia maya sulit dihapus. “Begitu pula regulasi yang ada masih sulit melindungi penyintas,” bebernya.

Menurutnya, pencegahan dan penanganan harus diperkuat yang harus dilakukan di berbagai sektor pemerintahan, swasta, penyedia layanan komunikasi dan informasi, media, dan penegak hukum, serta seluruh masyarakat. Sebabm dia memperkirakan pasca pandemi teknologi bakal jauh lebih masif digunakan, sehingga kejahatan KBGO bakal semakin tinggi. (Baca Juga: Kekerasan Terhadap Perempuan Bentuk Pelanggaran HAM)

Pimpinan Redaksi Jurnal Perempuan, Atnike Nova Sigiro berpandangan pentingnya membangun kepedulian masyarakat terhadap isu KBGO. Sebab, mengandalkan perbaikan regulasi atau membuat aturan baru untuk pencegahan KBGO membutuhkan waktu panjang. “Ini menurut saya pekerjaan rumah yang harus dilakukan,” kata Atnike dalam kesempatan yang sama.

Atnike mengatakan rasa malu yang dialami korban dan keluarga menjadi konsekuensi cara pandang masyarakat dan hukum dalam melihat kejahatan kekerasan seksual terhadap perempuan. Dalam UU ITE dan KUHP, kekerasan seksual diketegorikan sebagai kejahatan asusila. Pengungkapa kasus kekerasan seksual menimbulkan stigma dan rasa malu seolah merasa diadili moralitasnya. Hal tersebut pun menjadi hambatan psikologi dan sosiologis untuk mendapatkan pemulihan.

Tags:

Berita Terkait