Mengupas Peran Konsultan Hukum dalam Restrukturisasi BUMN
Hukumonline’s Top 100 Indonesian Law Firms 2021

Mengupas Peran Konsultan Hukum dalam Restrukturisasi BUMN

Restrukturisasi kerap jadi pilihan BUMN untuk memperbaiki sejumlah kondisi, seperti kesulitan keuangan, perlunya efisiensi, hingga beragamnya bidang usaha/anak perusahaan, sehingga diperlukan streamlining agar pengelolaan dapat berjalan optimal.

Oleh:
Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 6 Menit
IABF Law Firm. Foto: istimewa.
IABF Law Firm. Foto: istimewa.

Restrukturisasi kerap jadi pilihan BUMN untuk memperbaiki sejumlah kondisi, seperti kesulitan keuangan, perlunya efisiensi, hingga beragamnya bidang usaha/anak perusahaan, sehingga diperlukan streamlining agar pengelolaan dapat berjalan optimal. Terdapat dua jenis restrukturisasi, seperti restrukturisasi utang (loan restructuring) dan restrukturisasi perusahaan.

 

Pada restrukturisasi utang, BUMN akan berdiskusi dengan kreditur untuk melakukan restrukturisasi terhadap utangnya. Tujuannya, untuk menghindari terjadinya cedera janji (wanprestasi); yang jika didiamkan dapat memicu reaksi kreditur dan berujung pada kepailitan. Beberapa cara melakukan restrukturisasi utang, di antaranya (i) penjadwalan kembali (rescheduling); (ii) pemotongan pokok atau bunga (haircut); (iii) penurunan tingkat suku bunga; (iv) penyelesaian utang dengan aset (asset settlement); (v) konversi utang menjadi saham (debt to equity conversion); (vi) cessie, novasi, atau subrogasi; dan/atau (vii) kombinasi dari cara-cara tersebut. Namun, jika langkah restrukturisasi di luar pengadilan tidak terjadi, debitur atau kreditur dapat mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) melalui Pengadilan Niaga. Dalam PKPU akan ada pengurus yang ditunjuk sebagai jembatan untuk tercapainya kesepakatan dalam bentuk ‘Perjanjian Perdamaian’. ‘Perjanjian Perdamaian’ ini harus dipatuhi layaknya suatu amandemen dari perjanjian kredit. Jadi, jika debitur melakukan wanprestasi terhadap perjanjian perdamaian tersebut, kreditur berhak mengajukan permohonan pembatalan perjanjian yang berujung pada kepailitan.

 

Sementara itu, restrukturisasi perusahaan dipilih atas dasar pertimbangan kondisi perusahaan saat ini (kondisi untung/rugi, kontribusi positif/negatif, wajib/tidak dipertahankan oleh pemerintah, core business); serta efektivitas dalam pengelolaan dan proyeksi ke depan. Jika perlu dipertahankan, diperlukan pula upaya untuk melakukan restrukturisasi, seperti tambahan modal, merger, atau kerja sama dengan mitra strategis. Selain itu, restrukturisasi juga dapat dilakukan dengan pendirian holding company atau menunjuk satu BUMN sebagai holding company yang mewadahi BUMN-BUMN lain yang mempunyai bidang usaha sejenis.

 

Partner IABF Law Firm, Ivan F. Baely, S.H., LL.M. menjelaskan tiga metode yang sering kali digunakan BUMN untuk memperbaiki sistem manajemen maupun meningkatkan efektivitas kerja secara umum, terlebih di tengah kondisi pandemi yang belum mereda. Pertama, adalah merger atas beberapa anak perusahaan BUMN untuk meningkatkan profit dan mengeliminasi BUMN yang performanya kurang baik. Kedua, bekerja sama dengan mitra strategis atau divestasi untuk mendapatkan modal segar dari investor lain. Ketiga, membentuk atau menunjuk BUMN sebagai holding company.

 

“Sebagai catatan, merger di Indonesia agak sedikit lebih kompleks. Terdapat aturan pajak atas meger, sehingga merger menggunakan nilai buku atau nilai pasar dapat berdampak bagi perhitungan pajak. Selain itu, pengalihan aset berupa tanah dari perusahaan juga tetap dikenakan BPHTB yang nilainya cukup signifikan. Hal yang sama juga berlaku pada konsolidasi yang sebenarnya termasuk jarang dilakukan, sebab memiliki ketentuan pajak serupa merger,” kata Ivan.

 

Waktu Singkat dan Penuh Kehati-hatian
Pada dasarnya, sebelum melakukan restrukturisasi BUMN, terdapat beberapa kondisi yang harus lebih dulu dipertimbangkan. Ini meliputi kondisi bisnis dan keuangan perusahaan; tujuan; hingga manfaat yang ingin dicapai dari restrukturisasi. “Untuk mengetahuinya, perlu analisis menyeluruh pada aspek kondisi, kelayakan restrukturisasi, hal-hal yang dapat/tidak dapat dipenuhi, hingga proyeksi ke depan. Pada tahap inilah, proses restrukturisasi membutuhkan konsultan hukum untuk mengantisipasi hambatan-hambatan yang mungkin muncul,” jelas Partner IABF Law Firm, Almaida Askandar, S.H. 


Setidaknya, ada sejumlah peran dan ruang lingkup konsultan hukum dalam proses restrukturisasi menurut Almaida, yaitu, melakukan due diligence;  membuat kajian berisi analisis dan rekomendasi, selanjutnya memberikan advis; membuat struktur legal atas restrukturisasi, menyiapkan langkah-langkah dan timeline; berkoordinasi dengan konsultan lainnya; membuat seluruh perjanjian-perjanjian dan dokumen-dokumen terkait restrukturisasi; membuat rancangan persetujuan yang diperlukan, baik itu persetujuan korporasi maupun persetujuan pihak ketiga seperti kreditur; serta mendampingi negosiasi dengan pihak ketiga.  

Tags:

Berita Terkait