Analisis Isi Concurring Opinion Putusan MK soal TWK
Kolom

Analisis Isi Concurring Opinion Putusan MK soal TWK

Dengan membaca secara saksama pertimbangan para hakim dalam concurring opinion lebih terasa sebagai dissenting.

Bacaan 4 Menit
Bisariyadi. Foto: Istimewa
Bisariyadi. Foto: Istimewa

Mengapa hakim konstitusi merasa perlu untuk menyampaikan alasan berbeda (concurring opinion) meskipun kesimpulan yang dihasilkan sebagai amar putusan adalah sama? Yang lebih menarik lagi adalah sisi bahwa concurring tersebut disampaikan pada high profile case seperti dalam pengujian norma mengenai peralihan status pegawai KPK (baca: Putusan 34/PUU-XIX/2021 – tanggal 31 Agustus 2021, pen.) yang menyedot banyak perhatian publik. Tidak tanggung-tanggung, empat orang hakim konstitusi bergabung untuk menyampaikan alasan berbeda.

Dalam praktik, penyampaian dissenting maupun concurring opinion telah lazim disampaikan anggota majelis hakim MK dalam pelbagai putusan. Kelaziman dalam praktik ini telah diterima sebagai bagian dari legitimasi. Padahal, bila dilihat dari sisi formal, landasan hukum yang menjadi dasar penyampaian pendapat berbeda, tanpa menyebut alasan berbeda, hanya digantungkan pada Pasal 45 (10) UU MK. Bahkan, dalam Peraturan MK yang memuat hukum acara pun tidak mengatur secara rinci mengenai penyampaian pendapat maupun alasan berbeda. Akan tetapi, pembahasan mengenai persoalan ini akan lebih tepat untuk disampaikan pada lain waktu dan lain tempat atau mungkin juga oleh lain orang.

Tulisan singkat ini akan menitikberatkan pada persoalan mengenai alasan berbeda yang disampaikan empat hakim konstitusi dalam putusan pengujian norma soal peralihan status pegawai KPK. Peralihan status pegawai menjadi perhatian masyarakat karena dalam prosesnya menggunakan serangkaian ujian yang disebut “tes wawasan kebangsaan”. Hal ini yang kemudian, menjadi pemicu pengajuan perkara pengujian UU Perubahan UU KPK. Pemohon membaca bahwa aturan dalam ketentuan peralihan UU KPK musti diubah agar proses peralihan status pegawai KPK menjadi ASN sekaligus melindungi hak-hak konstitusi pegawai KPK.

Pendapat Mayoritas

Untuk mendapat gambaran utuh mengenai latar belakang penyampaian alasan berbeda dari empat hakim konstitusi, penting untuk terlebih dahulu memahami pendapat mayoritas dari majelis hakim.

Penalaran majelis hakim untuk sampai pada kesimpulan menolak permohonan, pada pokoknya, didasarkan pada tiga argumentasi, yaitu: (1) memahami hakikat peran ASN; (2) menegaskan kembali pendapatnya dalam Putusan sebelumnya (Putusan 70/PUU-XVII/2019, pen.); dan (3) menanggapi dalil pemohon bahwa norma yang diuji tidak melanggar konsep negara hukum maupun menyebabkan kerugian atas hak memperoleh perlindungan dan kepastian hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan yag layak serta hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif.

Benang merah dari ketiga argumentasi tersebut adalah pandangan mayoritas majelis hakim yang ingin membangun pemahaman bahwa pengalihan status sebagai ASN tidak serta merta memberangus semangat pemberantasan korupsi. Majelis hakim melihat regulasi manajemen, proses dan mekanisme seleksi serta proses pendidikan dan pelatihan yang dijalankan bagi ASN saat ini sudah mumpuni untuk membangun integritas moral dan memperkuat profesionalisme sebagai abdi negara. Peralihan status pegawai KPK menjadi ASN yang profesional dan terjaga integritasnya seharusnya dilihat secara optimis bahwa ASN pun merupakan bagian dari kesatuan upaya untuk memberantas korupsi.

Mayoritas majelis hakim juga berpendapat bahwa desain peralihan jabatan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Salah satu parameter sebagai ukuran obyektif penilaian yang digunakan syarat pengisian jabatan ASN adalah melalui ujian wawasan kebangsaan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait