Kedudukan KPPU dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia
Terbaru

Kedudukan KPPU dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia

Independensi dan kewenangan KPPU masih dapat dikembangkan lagi.

Oleh:
Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 7 Menit
Kantor KPPU. Foto: Hukumonline.
Kantor KPPU. Foto: Hukumonline.

Kedudukan hukum suatu lembaga negara amat menentukan peran dan fungsinya dalam mengemban mandat yang diberikan kepadanya. Lembaga negara yang kedudukan dan kewenangannya belum kuat secara hukum, tentu akan lebih banyak mengalami kendala dalam melaksanakan tugasnya. Sebaliknya, lembaga negara dengan kedudukan dan kewenangan yang kuat dan jelas, akan cenderung lebih efektif dalam mencapai tujuan pembentukannya.

Begitu pun bagi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (“KPPU”). Dibentuk sebagai respon atas krisis moneter pada tahun 1998, berdasarkan amanat dalam Bab VI Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“UU 5/1999”) KPPU didirikan dengan dengan tujuan mengawasi pelaksanaan UU 5/1999.

Saat ini, berdasarkan data dalam Laporan Tahunan KPPU 2020, jumlah putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht) yang ditangani KPPU per 31 Desember mencapai 168 putusan, dengan jumlah penerimaan mencapai  Rp444 miliar dan piutang inkracht lebih dari Rp863 miliar.

Meskipun jumlahnya sekilas terlihat banyak, namun, di sisi lain, tak jarang ada putusan KPPU yang kemudian dibatalkan oleh pengadilan baik di tingkat Pengadilan Negeri/Niaga maupun Mahkamah Agung. Oleh karena itu, menarik untuk ditelusuri lebih lanjut, apakah sebenarnya kedudukan hukum KPPU saat ini sudah kuat dan cukup untuk mendukung penegakan aturan persaingan usaha di Indonesia, atau masih perlu perbaikan, atau justru malah terlalu kuat?

Pengaturan KPPU dalam Peraturan Perundang-Undangan

Untuk dapat menilai bagaimana kedudukan hukum KPPU dalam sistem hukum kita, perlu diketahui lebih dahulu bagaimana komisi ini diatur dalam UU 5/1999, Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (“Keppres 75/1999”) dan perubahannya, serta Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“PP 44/2021”).

Apabila dilihat dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut, KPPU mempunyai cakupan wewenang yang cukup luas mulai dari melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan tindakan pelaku usaha, menerima laporan, melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan, memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran, memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat, hingga menjatuhkan sanksi administrasi jika ditemukan adanya pelanggaran UU 5/1999.

Dalam usaha menegakkan ketentuan dalam UU 5/1999, KPPU juga dapat menyusun pedoman dan publikasi yang berkaitan dengan undang-undang tersebut. Menurut Dr. Siti Anisah, pakar hukum persaingan usaha Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, pada praktiknya pedoman ini dituangkan dalam peraturan komisi (“Perkom”), yang pada awalnya kekuatan mengikatnya masih diperdebatkan. Namun, Anisah menjelaskan, melalui Putusan No. 44 P/HUM/2010 tanggal 21 April 2011, Mahkamah Agung (“MA”) menguatkan keberlakukan Perkom dengan menolak permohonan uji materi terhadap Perkom Nomor 1 Tahun 2010 yang dianggap oleh para pemohon bertentangan dengan UU 5/1999 karena undang-undang tersebut tidak mendelegasikan kewenangan untuk mengatur tentang tata cara penanganan perkara kepada KPPU. Dalam hal ini, MA berpendapat bahwa Pasal 35 huruf f UU 5/1999 harus dibaca “adanya kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia untuk menyusun pedoman yang mengatur dirinya sendiri dalam melaksanakan tugasnya.”

Halaman Selanjutnya:
Tags: