Penjatuhan Pidana Penjara Saiful Mahdi Dinilai Tindakan Tak Proporsional
Terbaru

Penjatuhan Pidana Penjara Saiful Mahdi Dinilai Tindakan Tak Proporsional

Sikap Presiden Jokowi terhadap permohonan amnesti Saiful Mahdi menjadi indikator perlindungan kebebasan berekspresi dan berpendapat, sebagaimana pernah diutarakan sebelumnya pada saat menyampaikan pentingnya revisi kembali UU ITE.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Mahkamah Agung (MA) telah menolak kasasi yang diajukan oleh Saiful Mahdi, dosen FMIPA Universitas Syiah Kuala, Aceh, yang dipidana dengan Pasal 27 ayat (3) Jo. Pasal 45 ayat (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Saiful dipidana tiga bulan penjara terkait dengan kritik yang dilontarkannya terhadap proses rekrutmen Pegawai Negeri Sipil di lingkungan kampusnya, yang disampaikan melalui grup whatsapp “UnsyiahKITA”.

Persoalan ini tentunya menimbulkan kritik publik. Pernyataan yang disampaikan Saiful dinilai bagian dari ekspresi yang sah atau legitimate expression yang dilindungi konstitusi. Atas vonis tersebut, saat ini Saiful Mahdi tengah mengupayakan permohonan amnesti kepada Presiden Joko Widodo. Sikap Presiden Joko Widodo terhadap permohonan amnesti ini menjadi indikator perlindungan kebebasan berekspresi dan berpendapat, sebagaimana pernah diutarakan sebelumnya pada saat menyampaikan pentingnya revisi kembali UU ITE.

Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar, menyatakan pengaturan dan implementasi Pasal 27 ayat (3) UU ITE memang selalu menuai polemik, kendati pemerintah telah melahirkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pedoman implementasi sejumlah pasal dalam UU ini. Merespons banyaknya persoalan akibat penerapan pasal pencemaran nama baik sebagai pembatas dalam pelaksanaan kebebasan berekspresi, Komite HAM PBB berkali-kali menekankan agar hukum pencemaran nama baik dibuat dengan sangat hati-hati.

“Hal itu untuk memastikan bahwa hukum ini tidak menghambat kebebasan berekspresi. Komite juga secara tegas mengatakan, bahwa hukum pencemaran nama baik tidak dapat dikenakan terhadap suatu ekspresi yang menurut sifatnya merupakan aplikasi dari kebebasan berpendapat. Harus ditegaskan pula di dalamnya, ada ruang yang lebih luas bagi kritik terhadap pejabat negara, dalam setiap peristiwa, selain itu kepentingan publik dapat diakui sebagai pembelaan,” jelas Wahyudi, Senin (6/9).

Sejalan dengan penegasan itu, Pengadilan HAM Eropa pada tahun 2010, juga menyatakan, bahwa hukuman atas tindak pidana pencemaran nama baik terhadap seseorang yang mengkritik seseorang yang menyandang mandat publik, adalah tidak proporsional dengan tujuan yang sah untuk melindungi reputasi dan hak-hak orang lain. (Baca: Dinilai Korban Peradilan Sesat, Dosen Unsyiah Ini Minta Presiden Beri Amnesti)

Wahyudi memandang bahwa proses hukum terhadap Saiful Mahdi, termasuk penjatuhan pidana penjara tiga bulan merupakan suatu tindakan yang tidak proporsional, dan merupakan bentuk represi kebebasan berekspresi, melalui tindakan kriminalisasi terhadap ekspresi yang sah. “Hukuman penjara untuk pencemaran nama baik adalah tidak diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis, dan bertentangan dengan jaminan perlindungan kebebasan berpendapat dan berekspresi,” tegasnya.

Selain itu, hal ini sejalan dengan Komentar Umum No. 34 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang menegaskan bahwa suatu UU yang mengatur tentang pembatasan kebebasan berekspresi tidak boleh melanggar ketentuan non-diskriminatif dari Kovenan (ICCPR), dan yang paling penting adalah UU tersebut tidak memberikan hukuman-hukuman yang tidak sesuai dengan Kovenan salah satunya adalah hukuman fisik.

Tags:

Berita Terkait