Respons Asosiasi Pembiayaan Pasca-Putusan MK Soal Eksekusi Jaminan Fidusia
Utama

Respons Asosiasi Pembiayaan Pasca-Putusan MK Soal Eksekusi Jaminan Fidusia

Putusan MK bernomor 2/PUU-XIX/2021 dinilai mempertegas bahwa leasing dapat mengeksekusi objek jaminan fidusia tanpa melalui putusan pengadilan. Eksekusi kendaraan dapat dilakukan saat ada wanprestasi dan kesukarelaan debitur.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan menolak pengujian Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia). Menurut MK dalam putusan bernomor 2/PUU-XIX/2021 tersebut pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui pengadilan negeri hanya alternatif. 

Eksekusi tersebut dapat dilakukan dalam hal tidak ada kesepakatan antara kreditur dan debitur, baik adanya wanprestasi maupun penyerahan secara sukarela objek jaminan dari debitur kepada kreditur. Sehingga, bila debitur yang telah mengakui adanya wanprestasi dan secara sukarela menyerahkan objek jaminan fidusia maka eksekusi jaminan fidusia dapat dilakukan (dengan mudah) oleh kreditur atau bahkan debitur itu sendiri (secara sukarela).  

Menanggapi hal ini, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), Suwandi Wiratno menyampaikan putusan MK tersebut mempertegas perusahaan pembiayaan (leasing) dapat mengeksekusi objek jaminan fidusia tanpa melalui putusan pengadilan. Dia mengatakan sebelumnya ada anggapan setiap eksekusi tersebut harus melalui proses pengadilan. 

“Putusan MK tersebut jelas eksekusi kendaraan dapat dilakukan saat ada wanprestasi dan kesukarelaan debitur,” jelas Suwandi.

Perselisihan atau konflik yang terjadi saat eksekusi tersebut, Suwandi menerangkan debitur dapat bernegosiasi dengan perusahaan pembiayaan saat awal penandatanganan perjanjian jual-beli. Sehingga, klausul eksekusi jaminan fidusia melalui proses pengadilan dimasukan dalam perjanjian tersebut. 

Sayangnya, dia mengatakan mayoritas nasabah enggan mengetahui klausul-klausul perjanjian tersebut. “Sangat bisa negosiasi di awal, sayangnya konsumen enggak mau tahu, orang kami mau bacakan mereka bilang enggak usah dibacakan yang penting kendaraan dapat,” jelas Suwandi saat dihubungi Hukumonline, Kamis (9/9).

Kemudian, terdapat debitur nakal yang menjual kendaraan atau objek jaminan di bawah tangan. Pasalnya, berdasarkan Undang-Undang 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia penjualan bawah tangan tersebut melanggar hukum bahkan dapat dipidana. 

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait