Respons Pegiat Antikorupsi dan Akademisi Soal Pencabutan Ketentuan Remisi
Terbaru

Respons Pegiat Antikorupsi dan Akademisi Soal Pencabutan Ketentuan Remisi

Putusan MA tetap harus dihormati, namun juga perlu dikritisi.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 6 Menit
ICW mengadakan diskusi daring pasca soal Putusan MA yang mengabulkan uji materi PP Remisi, Selasa (2/11).
ICW mengadakan diskusi daring pasca soal Putusan MA yang mengabulkan uji materi PP Remisi, Selasa (2/11).

Mahkamah Agung (MA) membatalkan Pasal 34A dan Pasal 43A Peraturan Pemerintah (PP) No.99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas PP 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dua pasal dalam PP tersebut merupakan ketentuan pemberian syarat remisi yang salah satunya berlaku bagi narapidana korupsi.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menyatakan menghormati putusan MA tersebut. Namun, dia mengkritisi putusan MA kali ini karena telah terdapat beberapa pengujian terhadap PP 99/2012 tersebut sebanyak dua kali dan berujung penolakan karena tindak pidana korupsi termasuk kejahatan luar biasa, sehingga mendapat perlakuan berbeda.

“PP ini sudah diuji berkali-kali yang jelas pada 2013 dan 2015. MA menolak permohonan para pemohon dengan alasan tindak pidana korupsi itu extraordinary sehingga mendapat perlakuan berbeda. Namun, kesempatan terakhir pada 2021, MA menganggap perlakuan yang berbeda terhadap narapidana korupsi itu dianggap diskriminasi,” jelas Zaenur dalam sebuah diskusi daring, Selasa (2/11).

Zaenul menyayangkan pembatalan PP 99/2012 tersebut karena dalam penerapannya berhasil mengungkap pihak-pihak yang terlibat dalam kejahatan korupsi. Selain itu, PP 99/2012 tersebut juga mengatur pemberian remisi napi koruptor dengan syarat membayar lunas denda serta uang pengganti. Dia menjelaskan PP 99/2012 tersebut merupakan penghalang agar narapidana korupsi mendapatkan remisi dengan mudah. Zaenul mengatakan narapidana korupsi masih memungkinkan memiliki kekuasaan meski telah berada di lembaga pemasyarakatan.

“Selama ini Indonesia masih lekat dengan judicial corruption. Sistem hukum masih rusak masih mudah dibeli. Dari rata-rata, pidana badan narapidana korupsi masih rendah. Rata-rata di pengadilan tinggi hanya 3,5 tahun pidana yang diterima narapidana korupsi,” jelas Zaenul. (Baca: Diusulkan Perlu UU Pengetatan Remisi bagi Terpidana Korupsi)

Dia menambahkan pemulihan aset juga masih sulit dilakukan negara terhadap harta hasil kejahatan korupsi. Terlebih, aset tersebut juga bisa disembunyikan di luar negeri. Sehingga, saat pidana badan dan pemulihan aset yang rendah ini menjadi risiko narapidana korupsi yang keluar dari lapas tersebut menikmati hasil kejahatannya. Hal ini dinilai tidak memberikan efek jera kepada pelaku korupsi.

“Saat pidana badan rendah dan pemulihan aset rendah kemudian diikuti dengan diskon maka bisa dibayangkan barangkali rata-rata jalani pidana tidak sampai tiga per empat dari yang dijatuhkan majelis hakim. Ringan sekali disinsentif pada narapidana korupsi,” tegasnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait