Salah satu tantangan terberat penegakan hukum di Indonesia adalah korupsi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah (PBJP). Tata kelolanya terus menerus diperbaiki, namun belum sepenuhnya bersih dari praktik lancung bernama korupsi. Lembaga yang menjalankan pengawasan sudah cukup banyak, tetapi mayoritas perkara korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berkaitan dengan pengadaan barang/jasa di lembaga-lembaga pemerintah.
Pada saat pandemi Covid-19, ketika prosedur dipermudah dan pengawasan diperlonggar, peluang korupsi dalam pengadaan makin besar. Setya Budi Ariyanta, Deputi Bidang Hukum dan Penyelesaian Sanggah Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), membenarkan masih adanya penyimpangan PBJP selama masa pagebluk. Kondisi darurat justru dijadikan alasan untuk penunjukan langsung, padahal seharusnya diadakan melalui mekanisme biasa. Sebab, tidak semua pengadaan memenuhi kualifikasi penanganan anggaran Covid-19.
“Memanfaatkan status darurat untuk menggunakan mekanisme PBJ darurat pada paket pekerjaan yang bukan untuk penanganan darurat,” ia menjelaskan salah satu bentuk penyimpangan yang ditemukan LKPP, dalam salah satu diskusi publik, 26 Oktober lalu.
Dalam rangka penanganan darurat pandemi, serangkaian peraturan dan edaran sudah dikeluarkan pemerintah. Sebelum pandemi, Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP 2018) sudah membuat arahan. Pasal 59 ayat (1) menyebutkan penanganan keadaan darurat dilakukan untuk keselamatan/perlindungan masyarakat atau warga negara yang berada di dalam negeri dan/atau luar negeri yang pelaksanaannya tidak dapat ditunda dan harus dilakukan segera. Perpres PBJP 2018 ini sudah direvisi sebagian isinya melalui Perpres No. 12 Tahun 2021, terutama mengakomodasi usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi.