Squid Game dan Adu Tarung Kepentingan Publik
Kolom

Squid Game dan Adu Tarung Kepentingan Publik

Tiap episode Squid Game terdapat refleksi serta analogi himpitan yang dirasakan masyarakat sipil dan publik Indonesia secara umum.

Bacaan 6 Menit
Gita Putri Damayana. Foto: Istimewa
Gita Putri Damayana. Foto: Istimewa

Di masa pandemi ini (betapa lelahnya menggunakan ungkapan ini selama hampir dua tahun), salah satu cara menjaga kewarasan adalah dengan menonton layanan streaming film, baik serial atau film panjang. Salah satu yang paling populer adalah serial Korea berjudul “Squid Game” yang bercerita tentang kompetisi maut berbasis permainan anak-anak dengan peserta orang-orang yang memiliki tunggakan hutang berjibun. Pemenang kompetisi Squid Game adalah dia yang bertahan hidup hingga babak terakhir dan memenangkan hadiah uang 45,6 milyar won atau nyaris 550 miliar rupiah.

Menonton “Squid Game” bukan sekadar olah mental berkhayal kabur dari kenyataan semakin merosotnya ekosistem demokrasi di Indonesia. Tapi dari kompetisi serta peristiwa di tiap episode terdapat refleksi serta analogi himpitan yang dirasakan masyarakat sipil dan publik secara umum. Baik dari sisi penegakan hukum maupun kebijakan serta legislasi yang sedang berlaku. Berani coba menganalogikan tiap episode permainan Squid Game dengan situasi masyarakat sipil kita? Mari kita mulai.

  1. Semua Jadi Korban. Dalam episode “Red Light, Green Light”, peserta yang terlihat bergerak sesudah robot anak perempuan selesai bernyanyi akan segera ditembak mati. Secara bersama-sama, para peserta tanpa pandang bulu bila terlambat berhenti bergerak akan ditembak mati. Ibarat apa yang terjadi di Indonesia, setiap pemangku kepentingan isu masyarakat sipil tanpa pandang bulu akan kena peluru tajam.

Peluru tajam sudah mengena ke KPK yang membuatnya terkapar jatuh sejak revisi UU KPK. Isu kebebasan berserikat semakin terpuruk dengan adanya UU Ormas, belum lagi kerancuan penggunaan istilah “organisasi kemasyarakatan” yang problematik pukul rata menundukkan semua organisasi dalam kategori “ormas” sehingga bisa dibubarkan sesuai selera penguasa.

Isu kekerasan oleh aparat penegak hukum tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan. RUU Kekerasan Seksual yang memiliki keberpihakan pada korban; tak kunjung disahkan malah naskahnya berubah menjadi permisif ke pelaku kekerasan seksual. Mirip seperti permainan “Red Light, Green Light” harapan masing-masing pemangku kepentingan tinggal tunggu waktu kapan terbantai oleh status quo.

  1. Jilat atau Mati. Para peserta di episode “Honeycombs” harus mengikir gula-gula berbentuk payung, lingkaran, segitiga dan bintang dengan menggunakan jarum. Bila gula-gula itu patah, maka peserta akan ditembak mati. Ancaman maut membuat protagonis Gi-Hun menjilati gula-gula agar cukup rapuh sehingga mudah dipatahkan sesuai bentuk. Menjilati gula-gula sebetulnya tindakan yang lumrah ketika makan gula-gula.

Namun menjadi janggal ketika mereka yang memberikan justifikasi dan pemaafan pada semua kebijakan yang seharusnya layak dikritik mendapat posisi. Ungkapan “Bismillah Komisaris” sangat tepat menggambarkan situasi serba menjilat ini. Mereka yang pernah pasang badan untuk status quo akan mendapatkan penghargaan; di berbagai institusi privat maupun publik. Tak ada yang keliru dengan penghargaan berupa jabatan. Namun ketika terlalu sering terjadi dan mengabaikan sistem merit; jangan marah ketika timbul pertanyaan sejauh mana kita harus menjilat status quo demi sekadar bertahan hidup?

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait