Melacak Desain UUD 1945 Soal Pemilu Demokratis
Resensi

Melacak Desain UUD 1945 Soal Pemilu Demokratis

Mengkaji ulang pengalaman Indonesia dalam menyelenggarakan pemilu yang demokratis. Fokus buku mengungkapkan apa saja prinsip-prinsip pemilu demokratis yang telah ada dalam desain UUD 1945.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 4 Menit
Ilsutrasi buku dan tabel oleh UCUP
Ilsutrasi buku dan tabel oleh UCUP

Salah satu undang-undang yang rutin diubah dalam sejarah hukum Indonesia pascareformasi adalah undang-undang pemilihan umum (pemilu). Tercatat bahwa UU No.12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berganti setiap menjelang masa pemilihan umum masing-masing di tahun 2008, 2012, dan terakhir tahun 2017. Ada empat undang-undang berbeda sebagai dasar hukum bagi pemilu anggota legislatif tahun 2004, 2009, 2014, dan 2019. Empat undang-undang pemilu itu pun selalu diajukan ke sidang Mahkamah Konstitusi untuk dugaan telah bertentangan dengan konstitusi.

Kondisi itu patut menjadi perhatian serius. Pemilu adalah sarana mewujudkan kedaulatan yang berada di tangan rakyat Indonesia. Penyelenggaraan pemerintahan melalui para wakil rakyat berupaya memastikan wakil rakyat yang terpilih sungguh-sungguh menjadi penyambung aspirasi rakyat. Kalau begitu, mengapa undang-undang pemilu begitu rutin diperbarui? Apakah perubahan itu sungguh membuat pemilu makin dekat dengan kepentingan rakyat atau justru menjauh dari rakyat menuju kepentingan elite berkuasa? Cara untuk menilai soal ini dengan adil hanya dengan merujuk konstitusi sebagai hukum tertinggi dalam sistem hukum Indonesia. Maka, pertanyaan yang harus dijawab adalah: Bagaimana sebenarnya desain konstitusi UUD 1945 untuk mewujudkan daulat rakyat dengan benar dalam penyelenggaraan pemilu?

Saldi Isra dan Khairul Fahmi berupaya menjawab pertanyaan itu dengan melacak sejarah panjang ketatanegaraan Indonesia. Melalui buku ini keduanya mengurai konsep pemilu seperti apa yang telah dirancang para pendiri negara demi tegaknya kedaulatan rakyat. Sejumlah prinsip-prinsip mendasar pemilu demokratis berhasil diungkap keduanya berdasarkan analisis perundang-undangan serta penafsiran konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi. “Pokok bahasan kami, mengapa setiap pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu selalu terjadi perdebatan berkepanjangan perihal pemilu yang demokratis. Padahal, Pasal 22E UUD 1945 telah menegaskan asas-asas pemilu,” kata Saldi dalam pengantar buku ini (hal.xiii).

Ia mengungkapkan rasa penasaran awal yang ingin dijawab dengan menulis buku ini bersama Khairul Fahmi. Hipotesis kedua pakar hukum tata negara ini ialah pemilu demokratis telah dirancang para pendiri negara sejak mendesain Indonesia sebagai republik. Desain itu tertuang dalam UUD 1945 meski memang tidak secara teknis. Konstitusi sudah menyediakan prinsip-prinsip utama pemilu demokratis.

Namun, ternyata tidak semua rumusan norma undang-undang pemilu sejalan dengan prinsip pemilu demokratis dalam UUD 1945 (hal.27). Tercatat ada 237 permohonan pegujian undang-undang pemilu sejak tahun 2003 hingga 2017. Tampak bahwa delegasi prinsip pemilu demokratis menjadi sistem teknis dalam undang-undang menimbulkan persoalan serius. Prinsip ‘langsung’, ‘umum’, ‘bebas’, ‘rahasia’, ‘jujur’, dan ‘adil’ dalam Pasal 22E UUD 1945 mungkin gagal dipahami dengan baik pembuat undang-undang pemliu di setiap periode.

Saldi dan Fahmi berpandangan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi saat mengadili permohonan uji konstitusionalitas undang-undang pemilu menjadi sumber pencerahan penting. Mahkamah Konstitusi telah membantu menerjemahkan prinsip-prinsip umum pemilu demokratis ke dalam sejumlah prinsip penyelenggaraan pemilu yang lebih konkret. Oleh karena itu, buku ini meyakini desain UUD 1945 soal pemilu demokratis bisa dilacak dari kajian putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terhadap ratusan permohonan pegujian undang-undang pemilu sejak tahun 2003 hingga 2017.

Karya buku ini tampak konsisten dengan karya sebelumnya yang melibatkan Saldi Isra sebagai penulis. Guru Besar Hukum Tata Negara yang kini menjabat Hakim Konstitusi ini kerap melakukan penelusuran sejarah hukum sebagai alat telaah konseptual. Saldi ttidak pernah puas pada rumusan-rumusan normatif yang sudah tertulis dalam berbagai teks hukum positif.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait