Konsep Lalai dalam Hukum Pidana dan Perdata

Konsep Lalai dalam Hukum Pidana dan Perdata

Dalam setiap kasus kecelakaan, kata ‘lalai’ sering diperbincangkan. Istilah lalai juga dikenal dalam kasus wanprestasi. Lalai dalam pidana dan perdata sama-sama membawa konsekuensi hukum.
Konsep Lalai dalam Hukum Pidana dan Perdata

Hampir dalam setiap peristiwa kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan korban jiwa, kata ‘lalai’ acapkali dipergunakan aparat penegak hukum untuk menggambarkan penyebab kecelakaan. Mungkin sopir atau pengemudi lalai, sehingga kecelakaan tidak dapat dihindari. Menghubungkan suatu kecelakaan dengan kelalaian seseorang pada hakikatnya merupakan upaya mencari siapa yang harus dimintai tanggung jawab hukum.

Lalai atau kelalaian adalah kata yang lazim dikenal dalam hukum berlalu lintas. Berdasarkan penelusuran Hukumonline, ada sembilan kali kata ‘lalai’ dan ‘kelalaian’ disebut dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ); empat kali disebut dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (UU Jalan); tiga kali dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan; dan disebut tujuh kali dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Namun, tidak satu pun payung hukum transportasi itu yang mendefinisikan tentang lalai dan kelalaian.

Sekadar contoh simaklah Pasal 234 ayat UU LLAJ yang merumuskan: ‘Pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian pengemudi’. Penjelasan pasal ini menambahkan yang dimaksud dengan ‘tanggung jawab’ adalah pertanggungjawaban disesuaikan dengan tingkat kesalahan akibat kelalaian.

Contoh lain dapat disimak dari Pasal 359 KUHP, ketentuan yang juga sering dipakai aparat penegak hukum dalam kasus kecelakaan. Pasal ini menyebutkan barang siapa karena kelalaiannya menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. Kelalaian adalah bagian inti delik pasal ini bersama frasa ‘menyebabkan orang lain mati’. Dengan kata lain, agar pelakunya dapat dipidana, maka harus dibuktikan bahwa ia melakukan kelalaian yang menimbulkan kematian orang lain. Dalam bukunya ‘Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP (2015), Andi Hamzah menegaskan bahwa harus dibuktikan sebab akibatnya, bahwa karena kelalaian itu menyebabkan kematian orang.

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional