Akademisi Bicara Evaluasi Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020
Utama

Akademisi Bicara Evaluasi Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020

Seperti banyaknya pasangan calon tunggal dalam Pilkada serentak Desember 2020 mengindikasikan demokrasi tidak sehat. Hingga dari 271 daerah yang menyelenggarakan pilkada ada sebanyak 153 gugatan sengketa pilkada yang diajukan ke MK.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Simulasi pemungutan suara dalam Pilkada Serentak 2020 dengan menerapkan protokol kesehatan Covid-19. Foto: RES
Simulasi pemungutan suara dalam Pilkada Serentak 2020 dengan menerapkan protokol kesehatan Covid-19. Foto: RES

Pemerintah telah berhasil menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak secara nasional tahun 2020 kendati banyak organisasi masyarakat sipil meminta untuk ditunda guna menekan jumlah kasus Covid-19. Ada beragam persoalan yang muncul baik dari sisi regulasi maupun dalam teknis pelaksanaan yang kebetulan bersamaan dengan terjadinya bencana nonalam, pandemi Covid-19.    

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Ni’matul Huda, mengatakan Pilkada Serentak 2020 telah digelar dengan mengikuti argumentasi elit politik. Presiden Jokowi mengamini itu dengan menyebut penyelenggaraan pilkada serentak untuk mempertahankan hak konstitusional rakyat yakni hak memilih dan dipilih dalam pilkada.

Menurut Prof Ni’matul, meski konstitusional, hak untuk memilih dan dipilih merupakan legal right yang merupakan hukum positif yang dibuat oleh manusia. Sementara kalangan organisasi masyarakat sipil yang meminta agar pilkada serentak secara nasional tahun 2020 itu diundur berpedoman pada hak konstitusional yakni hak untuk hidup yang merupakan hak alamiah yang berasal dari alam.

Baginya, jika pemerintah menggunakan dalih konstitusional untuk tetap menyelenggarakan Pilkada Serentak Tahun 2020 saat pandemi Covid-19 belum berakhir, sebaiknya alasan itu tidak digunakan lagi untuk penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2024.

Mengutip norma Pasal 9-11 UU No.10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UU pemerintah (UU Pilkada), akan diangkat penjabat untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 dan 2023 sampai terpilihnya kepala daerah hasil Pilkada Serentak Nasional 2024.

Dia mengingatkan kewenangan kepala daerah dengan status “penjabat” itu berbeda dengan kepala daerah hasil pilkada. Hal ini diyakini akan merugikan daerah dalam konteks otonomi daerah karena dengan status “penjabat” berarti kepala daerah itu merupakan kepanjangan tangan pemerintah lewat Kementerian Dalam Negeri. Bahkan diprediksi yang akan banyak mengisi posisi “penjabat” kepala daerah itu adalah orang terdekat atau yang berkoalisi dengan Presiden.

“Jumlah penjabat yang akan diangkat oleh pemerintah pusat sekitar 271 orang. Padahal, pengangkatan itu hak politik masyarakat daerah,” Prof Ni’matul Huda saat berbicara dalam Webinar Nasional bertema “Demokrasi di Era Pandemi” dan Launching Jurnal Konstitusi dan Demokrasi yang digelar Bidang Studi Hukum Tata Negara FH UI, Senin (22/11/2021). (Baca Juga: 4 Syarat Utama Pilkada Serentak di Tengah Pandemi)

Tags:

Berita Terkait