Babak Baru UU Cipta Kerja: Babak Belur Perundang-undangan?
Kolom

Babak Baru UU Cipta Kerja: Babak Belur Perundang-undangan?

Ada tiga hal yang perlu dilakukan Pemerintah dan DPR dalam melaksanakan Putusan MK tentang uji formil UU Cipta Kerja ini.

Bacaan 6 Menit
Babak Baru UU Cipta Kerja: Babak Belur Perundang-undangan?
Hukumonline

Pada Kamis 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengucapan putusan permohonan uji formil atas UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) dengan nomor Putusan Mahkamah Konstitusi 91/PUU-XVIII/2020. Sidang pengucapan putusan yang berlangsung selama tiga jam lebih ini menyajikan kepada publik berbagai pertimbangan hakim yang pada akhirnya menyatakan bahwa UU Cipta Kerja cacat secara formil/prosedural dalam pembentukannya.

Setidaknya dapat disarikan tiga pertimbangan hakim mengenai cacat formil UU Cipta Kerja. Pertama, pembentuk UU Cipta Kerja tidak berpedoman pada teknik penyusunan peraturan perundang-undangan dalam Lampiran II UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). Pada poin ini, hakim MK menegaskan bahwa pembentuk undang-undang tidak menaati teknik baku yang telah diamanatkan pada UU PPP. Mulai dari penulisan judul, cara pencabutan UU, terdapatnya ketentuan umum, asas, dan tujuan dalam UU Cipta Kerja padahal dalam UU lama yang diubah masih ada ketiga hal tersebut yang dapat menimbulkan ketidakjelasan dan multi-interpretasi dalam implementasi UU Cipta Kerja dan ketidaksesuaian pada format UU.

Kedua, dalam persidangan, terungkap fakta bahwa terdapat perubahan isi atau substansi pada naskah Rancangan UU Cipta Kerja yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden sebelum disahkan dan diundangkan menjadi UU dengan naskah yang telah disahkan menjadi UU. Ketiga, dalam persidangan terungkap fakta bahwa pembentuk UU Cipta Kerja tidak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal (meaningful participation).

Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut, MK menyatakan UU Cipta Kerja cacat formil namun untuk menghindari ketidakpastian hukum dan dampak lebih besar yang ditimbulkan, maka menurut MK UU Cipta Kerja harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat. Apa implikasinya? Dalam putusannya MK menyatakan bahwa UU Cipta Kerja masih berlaku sepanjang Pembentuk UU melakukan perbaikan dalam tata cara pembentukan UU Cipta Kerja.

Dalam hal ini, MK memberikan waktu dua tahun bagi pembentuk UU untuk melakukan perbaikan tata cara pembentukan UU Cipta Kerja sejak putusan diucapkan. Apabila tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dapat dinyatakan inkonstitusional secara permanen artinya UU Cipta Kerja akan dicabut dan ketentuan lama yang diubah oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali. Bukan hanya itu, MK memerintahkan penangguhan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula penerbitan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.

Kritik terhadap Putusan MK

Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 patut diacungi jempol, walau sebenarnya bukan kali ini saja MK menyatakan suatu Undang-Undang cacat formil. Putusan serupa pernah keluar dalam Putusan MK No. 27/PUU-VII/2009 yang menyatakan bahwa UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan UU Mahkamah Agung cacat formil namun karena asas kemanfaatan hukum permohonan pemohon ditolak dan Undang-Undang UU Tahun 2009 tetap berlaku.

Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 bergerak satu derajat lebih baik dari Putusan MK No. 27/PUU-VII/2009 karena menyatakan UU Cipta Kerja cacat formil dan diberikan waktu dua tahun bagi pembentuk UU untuk memperbaikinya, artinya permohonan pemohon dikabulkan sebagian. Putusan MK ini juga patut diapresiasi karena menunjukkan MK memberi perhatian khusus bagi prosedur dan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan.

Tags:

Berita Terkait